Analisis Daya Saing Lada Indonesia Di Pasar Internasional

AmoritaPurba, Christine (2016) Analisis Daya Saing Lada Indonesia Di Pasar Internasional. Sarjana thesis, Universitas Brawijaya.

Abstract

Sub sektor pertanian yang berpotensi dikembangkan untuk kegiatan eksporimpor adalah perkebunan. Pada tahun 2008, total nilai ekspor komoditas primer perkebunan lebih tinggi dari total nilai impor komoditas primer perkebunan dengan rata-rata sebesar 91,78% (BPS dalam Ditjenbun, 2013). Salah satu komoditas perkebunan unggulan dan berpotensi besar mendukung pertumbuhan ekonomi Indonesia di pasar internasional adalah lada. Lada (Piper nigrum L.) merupakan tanaman rempah-rempah yang bernilai ekonomi tinggi dalam perdagangan internasional. Hal ini terbukti pada tahun 2013 lada masuk ke dalam 10 besar komoditas primer perkebunan yang diekspor dengan volume ekspor 46.806 ton dengan nilai US$ 3,38 miliar (UN Comtrade, 2015). Juga didukung oleh masuknya Indonesia dalam lima besar negara produsen dan eksportir lada terbesar dunia dan bersaing dengan Brazil, India, dan Vietnam selama 10 tahun terakhir (FAO, 2015). Menurut Wijastuti dalam Sinar Tani (2015), permasalahan terkait pengembangan lada di antaranya adalah luas areal tanam semakin menurun akibat alih fungsi lahan, produktivitas yang rendah akibat tanaman yang memasuki kategori tanaman tua, rendahnya penggunaan bibit unggul, rendahnya adopsi teknologi karena terbatasanya penyuluhan dan pendampingan, penanganan pasca panen kurang optimal, kelembagaan petani masih lemah, kemitraan antara petani dengan eksportir masih terbatas, dan semakin kompetitifnya pasar perdagangan internasional,yang mana negara-negara pesaing mampu memberikan nilai tambah pada lada. Tujuan dari penelitian ini adalah (1) Menganalisis keunggulan komparatif lada Indonesia dibandingkan dengan negara Brazil, India, dan Vietnam di pasar internasional, (2) Mengetahui keunggulan kompetitif lada Indonesia. Untuk menjawab masing-masing tujuan dari penelitian ini alat analisis yang digunakan adalah Revealed Comparative Advantage (RCA) dan Teori Berlian Porter (Porter Diamond’s Theory). Berdasarkan hasil analisis Revealed Comparative Advantage (RCA) selama 10 tahun sejak 2005 hingga 2014, lada dari masing-masing negara memiliki keunggulan komparatif. Hal ini dilihat dari nilai RCA masing-masing negara bernilai lebih dari satu (>1). Pada tahun 2014, urutan keempat negara produsen dan pengekspor lada terbesar di pasar internasional berdasarkan nilai RCA yakni Vietnam, Indonesia, Brazil, dan India. Vietnam memiliki nilai RCA sebesar 47,79, Indonesia memiliki nilai RCA sebesar 12,36, Brazil memiliki nilai RCA sebesar 9,18 dan India memiliki nilai RCA sebesar 2,58. Teori Berlian Porter (Porter Diamond’s Theory) bertujuan untuk menyusun keunggulan kompetitif dan mencakup atribut internal dan atribut eksternal. Atribut internal meliputi kondisi faktor, kondisi permintaan, industri pendukung dan terkait, strategi dan struktur, serta pesaingan antar industri sedangkan atribut eksternal meliputi pemerintah dan peluang. Kondisi faktor yang memiliki keunggulan yakni sumberdaya alam Indonesia berpotensi untuk dikembangkan karena masih 0,06% dari total luas wilayah Indonesia. Sumberdaya manusia dalam perkebunan lada jumlahnya memadai dan masuk dalam kategori usia produktif kerja, namun kualitas tenaga kerja masih rendah khususnya dalam penggunaan inovasi terbaru, terkait permodalan upaya yang ditempuh untuk membantu petani lada yakni Proyek Kemitraan Terpadu (PKT) dan Sistem Resi Gudang (SRG), dan teknologi yang disebar ke masyarakat, sebagian besar sudah diterapkan oleh petani dalam kegiatan usahataninya seperti penggunaan bibit unggul, namun pengawasan dari pemerintah terkait penggunaan inovasi yang ada masih kurang, mengakibatkan inovasi yang diberikan kepada masyarakat terkadang tidak diterapkan sesuai anjuran secara terus-menerus. Kondisi permintaan lada dalam negeri masih lebih rendah daripada permintaan ekspor. Industri terkait belum mampu menyuplai bahan baku yang berkualitas baik dilihat dari produktivitas lada Indonesia yang masih rendah dan hanya mencapai 0,79 ton/ha pada tahun 2014. Industri pendukung lada masih bersifat sangat minim dan tradisional dalam pengolahan lada. Struktur pasar lada adalah oligopoli, dan untuk menyusun strategi agar lada mampu bersaing dalam pasar berikut analisa lima kekuatan dalam industri yakni yakni ancaman masuknya pendatang baru, barang substitusi/ pengganti, daya tawar pemasok, daya tawar pembeli, dan persaingan antar industri yang sama. Ancaman masuknya pendatang baru industri lada dinilai sulit, karena biaya yang dibutuhkan dalam proses pengolahan serta biaya distribusi bahan baku yang diperoleh tiga sentra produsen utama lada di Indonesia dan barang jadi tinggi. Dilihat dari kandungan yang dimiliki lada, barang substitusi atau pengganti lada masih belum ditemukan, dan hal ini berpengaruh terhadap daya tawar pembeli maupun daya tawar pemasok. Di sisi lain, cita rasa yang dihasilkan lada tidak mampu digantikan oleh rempah lainnya, sehingga industri pengolahan lada merupakan pelanggan yang penting bagi pemasok, dan produk pemasok merupakan produk yang penting namun bisa digantikan oleh pemasok lain karena produksi total dari produsen lain juga masih bisa digunakan sebagai bahan baku. Dilihat dari masing-masing kekuatan yang dimiliki industri lada di atas, maka strategi bersaing generik yang dapat diterapkan terhadap komoditas lada Indonesia yakni strategi diferensiasi produk. Untuk komoditas lada, diferensiasi produk lada yang dapat dilakukan di antaranya lada hijau, minyak lada, oleoresin, lada hitam dan lada putih dari bentuk curah menjadi bentuk produk yang siap digunakan oleh konsumen akhir (end product) seperti industri makanan, rumah tangga, dan restoran. Peran pemerintah sebagai fasilitator dan kebijakan yang telah ditetapkan pemerintah terkait pengembangan lada meliputi tarif ekspor yang dibebankan pada eksportir, lada masuk dalam salah satu subjek sistem resi gudang untuk membantu permodalan, dan penetapan klaster agribisnis lada. Dari sisi peluang, dapat dikatakan bahwa peluang untuk pengembangan lada masih sangat terbuka lebar. Salah satunya potensi pengembangan luas areal lada di Indonesia, juga tuntutan konsumsi yang terus meningkat seiring peningkatan jumlah penduduk menciptakan peluang bagi produsen untuk terus meningkatkan produksi dan kualitas produknya agar tetap diminati pasar.Terdapat keterkaitan antar atribut internal seperti peningkatan produksi dan produktivitas lada Indonesia dengan permintaan atau konsumsi lada domestik dan internasional. Keterkaitan antara atribut internal dengan eksternal dapat dilihat dari kebijakan yang disusun pemerintah secara tidak langsung menunjukkan peran yang sangat kuat dalam pengaturan atribut internal pengembangan lada.

English Abstract

Sub sectors of agriculture that could potentially be developed for exportimport activities are plantation. One of the plantation commodities potentially support Indonesias economic growth in the international market are pepper. Pepper (Piper nigrum L.) is a spice plant in Indonesia and have high economic value in international trade. This was proven in 2013 pepper entered top ten plantation primary commodities exported with export volume constantly 46.806 tonnes with a value of US$ 3.38 billion (UN Comtrade, 2015). Also the inclusion of Indonesia entered top five producing countries and the worlds largest pepper exporter and competes with Brazil, India, and Vietnam over the last 10 years (FAO, 2015). According Wijastuti in Sinar Tani (2015), problems related to the development of pepper are decreasing planting area due to land conversion, low productivity due to plants that entered the category of old crop, use of quality low seeds, the low adoption of technology because the extension and advisory limited, post-harvest handling is unoptimal, farmers still a weak institutions, a partnership between farmers and exporters are still limited, and increasingly competitive international trade markets, which rival countries can provide added value to the pepper. The purpose of this research were (1) Analysis the Indonesian pepper comparative advantage compared to countries Brazil, India, and Vietnam in the international market, (2) Knowing the competitive advantages pepper Indonesia. To answer each objective research that analysis tool used Revealed Comparative Advantage (RCA) and the Porters Diamond Theory. Based on the analysis of Revealed Comparative Advantage (RCA) for 10 years from 2005 to 2014, the pepper of each country has a comparative advantage. It is obtained from the RCA value of each state is worth more than one (> 1). In 2014, the fourth in the countrys largest producer and exporter of pepper in the international market by RCA value namely Vietnam, Indonesia, Brazil, and India. Vietnam had a RCA value is 47.79, Indonesia had RCA value 12.36, Brazil had a RCA value of 9.18, and the last India had a RCA value of 2.58. Porters Diamond Theory aims to develop a competitive advantage and include internal attributes and external attributes. Attributes internal factors include factor conditions, demand conditions, related and supporting industries, strategy, structure, and rivalry while the external attributes include governments and opportunities. Condition factor has the advantage that Indonesias natural resources has the potential to be developed as it constanly 0.06% of the total area of Indonesia, while the human resources in sufficient numbers and pepper into the category of productive age work, but the quality of the labor force is still low, especially in the use of the latest innovations related increase in the production of pepper, associated capital measures taken to help the capital pepper farmers ie Partnership Project Integrated (PKT) and the Warehouse Receipt System (SRG), and the technology spread to the public, most have been adopted by farmers in the activities of farming such as the use of seeds, but the supervision of the government related to the use of innovation is still lacking, resulting in innovations that given to the public is sometimes not applied as directed continuously. Pepper domestic demand conditions are still lower than export demand. Related industries have not been able to supply the raw materials of good quality pepper Indonesia views of productivity is still low and the annual increase is only 0.74% per year, is also supporting the pepper industry is still very minimal and traditional in pepper processing. The market structure of pepper Indonesia is oligopoly, and to develop strategies that pepper able to compete in the market following the five forces in the competition namely the threat of entry of new entrants, substitutes, bargaining power of suppliers, bargaining power of buyers, and competition among the same industry. The threat of entry of new entrants pepper industry is considered difficult, because of the costs involved in the processing and the cost of raw materials distribution centers acquired three major producers of pepper in Indonesia and finished goods high. Judging from the content that owned by pepper, pepper substitution or replacement goods are still unaccounted for, and it affects the bargaining power of buyers and the bargaining power of suppliers. On the other hand, the number of flavors produced pepper was not able to be replaced by other spices, so that the processing industry of pepper is an important customer for suppliers, and product supplier of an essential product but can be replaced by other suppliers because the total production of other manufacturers still can is used as a raw material. Judging from the respective strength of the industrial pepper on top, then the generic competitive strategies that can be applied against the Indonesian pepper commodity product differentiation strategy. For commodities pepper, product differentiation pepper that can be undertaken include green pepper, pepper oil and oleoresin and black pepper and white pepper from the bulk form into the shape of a product that is ready for use by the final consumer (end product) such as food, household, and restaurant. The role of government as a facilitator and policies set by the government assembled pepper development include export tariffs imposed on exporters, pepper included in one subject of the warehouse receipt system to aid capital, and the establishment of agribusiness cluster pepper. In terms of opportunities, it can be said that the chances for the development of pepper is still wide open. One was the potential for the development of pepper acreage in Indonesia, also the demands of consumption continues to increase with increases in the number of population create opportunities for manufacturers to continue to increase production and the quality of its products in order to remain marketable. There are linkages between internal attributes such as increased production and productivity of Indonesian pepper with demand or consumption of domestic and international pepper. The linkage between internal with external attributes can be seen from the government drafted a policy implies a very strong role in regulating the development of pepper internal atributes.

Item Type:	Thesis (Sarjana)
Identification Number:	SKR/FP/2016/561/051609288
Subjects:	300 Social sciences > 338 Production > 338.1 Agriculture
Divisions:	Fakultas Pertanian > Sosial Ekonomi Pertanian
Depositing User:	Sugiantoro
Date Deposited:	21 Nov 2016 10:26
Last Modified:	19 Oct 2021 13:30
URI:	http://repository.ub.ac.id/id/eprint/131569

Preview	Text BAB_1.pdf Download (1MB) | Preview
Preview	Text BAB_3.pdf Download (1MB) | Preview
Preview	Text BAB_4.pdf Download (1MB) | Preview
Preview	Text BAB_5.pdf Download (1MB) | Preview
Preview	Text COVER_DEPAN.pdf Download (1MB) | Preview
Preview	Text BAB_6.pdf Download (1MB) | Preview
Preview	Text DAFTAR_ISI.pdf Download (1MB) | Preview
Preview	Text JURNAL.pdf Download (2MB) | Preview
Preview	Text RINGKASAN.pdf Download (1MB) | Preview
Preview	Text LAMPIRAN.pdf Download (1MB) | Preview
Preview	Text BAB_2.pdf Download (1MB) | Preview

Actions (login required)

View Item