Implementasi Kebijakan Konversi Minyak Tanah Ke Liquefied Petroleum Gas (LPG) Dalam Perspektif Masyarakat : Studi Pada Masyarakat Kelurahan Karangbesuki Sukun Malang.

MuhammadSyaifuddin (2008) Implementasi Kebijakan Konversi Minyak Tanah Ke Liquefied Petroleum Gas (LPG) Dalam Perspektif Masyarakat : Studi Pada Masyarakat Kelurahan Karangbesuki Sukun Malang. Sarjana thesis, Universitas Brawijaya.

Abstract

Kebijakan konversi minyak tanah ke LPG merupakan bentuk upaya antisipasi terhadap menipisnya cadangan minyak bumi yang pada akhirnya bakal semakin habis. Minyak merupakan energi yang tidak dapat diperbarui, perannya dalam rangka energy mix semakin mengecil, tetapi volume yang dibutuhkan secara absolut terus meningkat Selain itu, besarnya nilai subsidi untuk minyak tanah akibat harga minyak mentah dunia yang terus bergerak naik hingga kisaran $ 136 US semakin memberatkan APBN. Hal itu mendorong pemerintah Indonesia untuk meluncurkan kebijakan konversi minyak tanah (mitan) ke Liquefied Petroleum Gas (LPG) 3 kilogram. Melambungnya harga minyak. Kebijakan konversi minyak tanah ke LPG bertujuan mengurangi beban subsidi yang ditanggung pemerintah terhadap BBM terutama minyak tanah. Selain itu kebijakan konversi juga sebagai upaya menyesuaikan dengan perkembangan harga minyak mentah dunia yang semakin liar. Konversi juga merupakan bentuk diversifikasi energi seperti yang diamanatkan oleh Peraturan Preseden Republik Indonesia Nomor 5 tahun 2006 tentang Kebijakan Energi Nasional. Jika tujuan itu tercapai maka pemerintah akan mendapatkan manfaat berupa penghematan subsidi sekitar Rp.20,12 triliun. Selain pemerintah, masyarakat juga diuntungkan dengan nilai penghematan sebesar 32% atau sekitar Rp.24.000/bulan. Masyarakat juga diberikan pembelajaran tentang pentingnya bahan bakar yang bersih dan ramah lingkungan, aman, cepat dan praktis. Berdasarkan hasil penelitian dilapangan, tingkat manfaat yang diharapkan oleh pemerintah terhadap masyarakat belum mampu dirasakan seutuhnya oleh masyarakat. Hal itu disebabkan oleh proses setiap tahap implementasi kebijakan konversi minyak tanah ke LPG kurang maksimal sehingga tidak berjalan sesuai dengan harapan semua pihak. Dengan proses yang seperti itu, justru membuat masyarakat ragu-ragu dan takut untuk mempergunakan paket konversi yang telah mereka terima. Keraguan dan ketakutan tersebut dilatarbelakangi oleh kegiatan sosialisasi yang minim ditingkat masyarakat. Selain itu faktor yang ikut memicu sikap masyarakat tersebut adalah kualitas paket konversi yang kurang bagus. Buruknya kualitas yang paket yang diterima masyarakat membuat bingung masyarakat terutama usaha mikro. Kebijakan publik seringkali berjalan secara linier, artinya ketika satu tahap kebijakan tidak berjalan dengan baik, maka hal itu akan berpengaruh pada tahap berikutnya, dan begitupun seterusnya. Begitu pula yang terjadi pada kebijakan konversi ini, diawali dengan tahap persiapan yang kurang matang, menyebabkan tahap implementasi kebijakan juga tidak bisa berjalan secara maksimal, hal itu membawa konsekuensi pada tingkat keberhasilan kebijakan berupa pencapaian tujuan kebijakan (tingkat manfaat dan derajat perubahan) yang kurang maksimal pula. Karena masyarakat belum merasakan manfaat sesuai kalkulasi pemerintah, maka derajat perubahan yang dirasakan masyarakat pun sangat rendah. Hal itu dibuktikan dengan masih tingginya potensi masyarakat untuk kembali beralih ke minyak tanah. Dengan demikian saran yang dapat diberikan peneliti adalah perlunya persiapan yang matang sebelum sebuah kebijakan diimplementasikan dilapangan. Persiapan yang dibutuhkan dititikberatkan pada kemampuan pihak-pihak pelaksana memahami isi kebijakan disertai tingkat kesepahaman yang sama diantara pihak-pihak tersebut. Dalam hal ini yang perlu ditingkatkan pada setiap implementasi kebijakan adalah komunikasi (secara vertikal dan horisontal) yang baik diantara pihak yang terkait dengan implementasi kebijakan karena hal itu sangat dipengaruhi oleh karakter birokrasi di Indonesia yang kurang fleksibel. Hal tersebut akan meminimalisir tingkat distorsi informasi baik secara vertikal maupun horisontal. Saran berikutnya adalah memaksimalkan kegiatan sosialisasi. Menurut peneliti sosialisasi merupakan tahap kunci yang mampu mempengaruhi tingkat keberhasilan sebuah implementasi kebijakan. Saran terakhir adalah terkait dengan kualitas produk yang diberikan kepada masyarakat, diperlukan quality controll yang lebih maksimal dari pihak terkait agar masyarakat sebagai kelompok sasaran kebijakan juga bisa menerima dan menjalankan sesuai dengan apa yang diamanatkan oleh kebijakan tersebut tanpa adanya keterpaksaan dan tanpa merasa dipermainkan oleh pemerintah.

Item Type: Thesis (Sarjana)
Identification Number: SKR/FIA/2008/411/050803540
Subjects: 300 Social sciences > 351 Public administration
Divisions: Fakultas Ilmu Administrasi > Ilmu Administrasi Publik / Negara
Depositing User: Endang Susworini
Date Deposited: 21 Nov 2008 09:00
Last Modified: 23 Oct 2021 06:46
URI: http://repository.ub.ac.id/id/eprint/113804
[thumbnail of 050803540.pdf]
Preview
Text
050803540.pdf

Download (3MB) | Preview

Actions (login required)

View Item View Item