Konsep Historical Rights Dalam Sengketa Laut Tiongkok Selatan Berdasarkan Putusan PCA Case Number 2013-19 In the Matter of the South China Sea Arbitration Between The Phillipines vs China

Kristiyanto (2017) Konsep Historical Rights Dalam Sengketa Laut Tiongkok Selatan Berdasarkan Putusan PCA Case Number 2013-19 In the Matter of the South China Sea Arbitration Between The Phillipines vs China. Sarjana thesis, Universitas Brawijaya.

Abstract

Adanya hubungan dan kerjasama internasional yang melibatkan negara negara pada umumnya akan memberikan manfaat bagi negara negara tersebut, apabila hubungan atau kerjasama tersebut dilaksanakan berdasarkan hukum, norma dan protokol internasional yang berlaku. Bahkan, meskipun kerjasama dan hubungan tersebut telah dilaksanakan sesuai dengan prosedur hukum internasional, seringkali masih terjadi atau ada potensi sengketa yang mungkin saja timbul dalam kerjasama tersebut. Negara membutuhkan peran negara lain demi keberlangsungan kehidupan mereka. Namun seiring dengan berjalanya kerjasama tersebut, akan ada berbagai permasalahan yang akan timbul, seperti konflik regional yang melibatkan negara negara ASEAN dengan Tiongkok pada konflik yang terjadi di laut Tiongkok Selatan yang berpotensi akan mengancam kestabilan kawasan ASEAN Terdapat satu hak baru dan penting yang diajukan Tiongkok. Hak tersebut populer dengan nama “Historical Right”. PCA menyimpulkan dalam putusan akhir, bahwa tidak ada landasan hukum (no legal basis) atas klaim (historic rights) yang selama ini selalu dijadikan justifikasi oleh Tiongkok. PCA menjelaskan bahwa ada keterkaitan antara gugatan satu dan dua, yang mewakili dua aspek yaitu sumber sumber hak suatu negara pada zona maritim serta entitlements di laut Tiongkok Selatan. Dalam gugatan yang pertama, PCA berkesimpulan bahwa antara Filipina dan Tiongkok, UNCLOS telah memberikan batas batas maritim yang sangat jelas beserta hak-hak yang dapat dimiliki suatu negara pada masing masing zona maritim tersebut tetapi luasnya tidak boleh melebihi yang diatur dalam UNCLOS. Dalam gugatan yang kedua, PCA berkesimpulan bahwa antara Filipina dan Tiongkok, Tiongkok melakukan klaim atas historic rights, atau jenis kedaulatan lain, atau yurisdiksi sehubungan dengan wilayah maritim Laut Tiongkok Selatan yang luasnya sesuai dengan nine-dash-line map, PCA berkesimpulan bahwa peta tersebut tidak sesuai dengan ketentuan UNCLOS dan oleh karena itu peta tersebut tidak memiliki akibat hukum karena melebihi batas batas yang ditentukan dalam UNCLOS. Kemudian pada pembahasan kedua telah dijabarkan bagaimana peran ASEAN dalam mengakomodir sengketa-sengketa yang melibatkan negara anggotanya. Diskusi antara ASEAN dengan Tiongkok untuk menyelesaikan permasalahan kedua belah pihak telah dimulai sejak 1994, kemudian milestone tercapai pada tahun 2002, ketika Declaration of Conduct berhasil disepakati oleh kedua belah pihak. Sebagai sebuah organisasi regional yang memiliki legal personality sesuai dengan hukum internasional, ASEAN dapat menjalankan peranya sebagai dispute settlement agency sesuai yang diatur dalam Pasal 23 Piagam ASEAN. Meskipun Pasal 28 Piagam ASEAN memberikan izin kepada negara negara anggota untuk menyelesaikan sengketa sesuai dengan kehendak mereka, namun, sebaiknya segala sengekta yang melibatkan ASEAN member states akan lebih efektif, jika mekanisme penyelesaian sengketa melibatkan ASEAN. Tindakan yang dilakukan oleh Filipina pada tahun 2013 dengan melaporkan kasus mereka ke pengadilan Internasional (PCA) tanpa adanya negosiasi terlebih dahulu dengan ASEAN dapat memberikan precedent buruk karena hal tersebut merefleksikan disunity antara negara negara ASEAN.

Item Type: Thesis (Sarjana)
Identification Number: SKR/FH/2017/85/051704374
Subjects: 300 Social sciences > 340 Law
Divisions: Fakultas Hukum > Ilmu Hukum
Depositing User: Sugiantoro
Date Deposited: 15 Jun 2017 09:54
Last Modified: 15 Jun 2017 09:54
URI: http://repository.ub.ac.id/id/eprint/112992
Full text not available from this repository.

Actions (login required)

View Item View Item