Apreisila, Tifani (2016) Analisis Persekongkolan Tender Sebagai Kegiatan Yang Dilarang Menurut Pasal 22 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Sarjana thesis, Universitas Brawijaya.
Abstract
Pada skripsi ini, penulis mengangkat permasalahan hukum mengenai Analisis Persekongkolan Tender Sebagai Kegiatan yang Dilarang Menurut Pasal 22 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Penulisan judul tersebut dilatarbelakangi oleh permasalahan hukum terkait ketidaksesuaian persekongkolan tender yang dikategorikan sebagai kegiatan yang dilarang menurut Pasal 22 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999. Berdasarkan hal tersebut di atas, karya tulis ini mengangkat satu rumusan masalah yakni apakah persekongkolan tender dapat dikategorikan sebagai kegiatan yang dilarang atau dikategorikan sebagai perjanjian yang dilarang dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Kemudian penulisan karya tulis ini menggunakan metode yuridis normatif dengan pendekatan perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan kasus (case approach) serta pendekatan perbandingan (comparative approach). Bahan hukum primer, sekunder dan tersier yang diperoleh penulis akan dianalisis menggunakan teknik analisis deskriptif analisis dan kemudian akan diinterpretasikan menggunakan metode interpretasi gramatikal dan sistematis. Berdasarkan hasil penelitian, diperoleh jawaban bahwa apabila dilihat dari jumlah para pihak dan adanya konsensual dalam persekongkolan tender, maka persekongkolan tender lebih tepat dikategorikan sebagai perjanjian yang dilarang dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999. Ini dikarenakan persekongkolan harus dilakukan oleh dua atau lebih dan dengan adanya konsensual yang dituangkan dengan adanya kerja sama. Padahal melihat definisi dari beberapa ahli serta melihat pada bentuk kegiatan yang dilarang selain persekongkolan menunjukkan bahwa kegiatan yang dilarang adalah kegiatan sepihak oleh pelaku usaha yang tidak memiliki keterkaitan dengan pelaku usaha lainnya atau tanpa mensyaratkan dilakukan oleh dua pihak atau lebih dengan adanya konsensual. Ketika persekongkolan tender dikategorikan sebagai perjanjian yang dilarang, maka akan semakin sulit untuk membuktikan adanya persekongkolan, mengingat, persekongkolan umumnya dilakukan secara lisan dan rahasia. Sehingga dapat dimungkinkan dalam pembuktian perjanjian dapat menggunakan indirect evidence. Namun sistem hukum di Indonesia tidak menerima adanya indirect evidence dalam pembuktian persekongkolan tender. Padahal di Amerika Serikat dan Uni Eropa, persekongkolan tender dikategorikan sebagai perjanjian yang dilarang dan dalam pembuktiannya dapat menggunakan indirect evidence
English Abstract
In this mini thesis, the author discusses legal issues regarding the analysis of collusive tender as prohibited activities according to Article 22 of Law Number 5 Year 1999 Concerning Prohibition of Monopolistic Practices and Unfair Competition. The title is motivated by legal issues related to collusive tender mismatch being categorized as an activity that is prohibited under Article 22 of Law No. 5 of 1999. Based on the above reason, the formulation of the problem is whether a collusive tender can be categorized as banned or classified as a prohibited agreement in Law No. 5 of 1999 Concerning Prohibition of Monopolistic Practices and Unfair Competition. This paper used a normative juridical method and a statute approach, a case approach, as well as a comparative approach. Primary, secondary and tertiary legal materials obtained by the author were analyzed using descriptive analysis techniques and the analysis was interpreted using grammatical and systematic methods of interpretation. Based on the research results, it was found that when seen from the number of parties and their consent in collusive tender, the collusive tender is more appropriately categorized as a prohibited agreement in Law Number 5 of 1999. This is because the conspiracy must be conducted by two or more parties with their consent and an element of cooperation. Whereas considering definitions from experts and activities that are prohibited other than plots, this shows that the prohibited activities are unilaterally activities by businesses that have no connection with other businesses or that are not required to be performed by two or more parties with their consent. When the collusive tender is categorized as a prohibited agreement, it will be more difficult to prove the existence of a collusive tender, since collusive tender is usually conducted orally and confidentially. So it can be possible in the proof of the agreement to use indirect evidence. In the other hand, the legal system in Indonesia does not allow the indirect evidence as a proof in collusive tender. Whereas in the United States and the European Union, collusive tender is classified as a prohibited agreement and the indirect evidence is commonly accepted by the authorities.
Item Type: | Thesis (Sarjana) |
---|---|
Identification Number: | SKR/FH/2016/28/ 051603554 |
Subjects: | 300 Social sciences > 340 Law |
Divisions: | Fakultas Hukum > Ilmu Hukum |
Depositing User: | Kustati |
Date Deposited: | 21 Apr 2016 10:53 |
Last Modified: | 16 Aug 2022 02:22 |
URI: | http://repository.ub.ac.id/id/eprint/112694 |
![]() |
Text
TIFANI APREISILA.pdf Download (2MB) |
Actions (login required)
![]() |
View Item |