Makna Pasal 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Terkait Syarat Sah Perkawinan Ditinjau Dari Perspektif Sejarah Dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/Puu-Viii/2010

Putra, DioN Permana (2015) Makna Pasal 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Terkait Syarat Sah Perkawinan Ditinjau Dari Perspektif Sejarah Dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/Puu-Viii/2010. Sarjana thesis, Universitas Brawijaya.

Abstract

Pada skripsi ini, penulis mengangkat permasalahan mengenai Makna Pasal 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Terkait Syarat Sah Perkawinan Ditinjau Dari Perspektif Sejarah dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010. Pilihan tema tersebut dilatar belakangi ketika terdapat dua putusan Mahkamah Agung pada tahun 1991 dan tahun 1993 yang memiliki putusan yang berbeda mengenai syarat sah perkawinan. Pada tahun 1991, kasus pada Pengadilan Negeri Bale Bandung, Mahkamah Agung memberi putusan kasasi bahwa perkawinan secara agama Islam yang tidak dilakukan pencatatan adalah tidak sah dihadapan hukum. Sedangkan pada tahun 1993, kasus Pengadilan Tinggi Banda Aceh, Mahkamah Agung memberi putusan kasasi bahwa perkawinan agama Islam tanpa dilakukan dihadapan Pegawai Pencatat Perkawinan adalah tetap sah, asalkan perkawinan tersebut memenuhi aturan syariat Islam. Adanya dua putusan Mahkamah Agung yang saling bertolak belakang ini menyebabkan timbulnya dua interpretasi dalam memaknai syarat sah perkawinan dalam Undang-Undang Perkawinan, yakni: (i) Interpretasi Diferensif, yakni memisahkan antara dua ketentuan syarat sah perkawinan dalam Undang-Undang Perkawinan, bahwa hanya dengan memenuhi salah satu syarat sah perkawinan khususnya memenuhi ketentuan tentang agama dan kepercayaan maka perkawinan yang dilakukan dianggap telah sah; dan (ii) Interpretasi Koherensif, yakni menyatukan kedua ketentuan syarat sah perkawinan dalam Undang-Undang Perkawinan, bahwa suatu perkawinan telah dianggap sah apabila memenuhi kedua syarat sah perkawinan menurut Undang-Undang Perkawinan. Hingga saat ini banyak masyarakat Indonesia yang melakukan perkawinan tetapi belum paham tentang makna dari syarat sah perkawinan tersebut, sehingga ketika ada pihak yang melakukan perkawinan sesuai ketentuan agama dan kepercayaan saja, tanpa memenuhi ketentuan hukum negara yakni dilakukannya Pencatatan Perkawinan, pihak tersebut merasa dirugikan ketika ada suatu permasalahan seperti hak menafkahi, hak gono-gini, hak waris, dan lain-lain. Pihak yang dirugikan pasti tidak lain adalah kaum wanita (istri) dan anak-anak. Berdasarkan hal tersebut di atas, karya tulis ini mengangkat rumusan masalah, yaitu apa makna dari ketentuan Pasal 2 Undang-Undang Perkawinan dilihat dari perspektif sejarah dibuatnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan menurut Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUUVIII/ 2010? Kemudian penulisan karya tulis ini menggunakan metode yuridis normatif dengan metode pendekatan dengan pendekatan historis (historical approach) dan pendekatan perundang-undangan (statute approach). Bahan hukum primer, ix sekunder, dan tersier yang diperoleh penulis akan dianalisis dengan menggunakan interpretasi sistematis dan gramatikal atau penafsiran menurut tata bahasa. Dari hasil penelitian dengan metode di atas, penulis memperoleh jawaban atas permasalahan yang ada bahwa dalam perspektif sejarah pembentukan Undang- Undang Perkawinan, yakni Hukum Adat, Hukum Agama dan Hukum Administrasi Negara merupakan samenval (perbarengan), dimana Hukum Adat dan Hukum Agama sebagai dipenuhinya syarat sah dilakukannya perkawinan, dan Hukum Administrasi Negara berupa pencatatan perkawinan merupakan alat pemerintah untuk melindungi warga negaranya yang melakukan perbuatan hukum perkawinan. Niat dan maksud dari pembuat Undang-Undang Perkawinan mengenai ketentuan syarat sah perkawinan adalah perkawinan dilakukan berdasarkan ketentuan yang diatur oleh agama dan kepercayaan, namun agama dan kepercayaan tersebut tidak dapat dipaksakan keberadaan dan keberlakuannya oleh negara (Pemerintah) karena bersifat privat, namun sudah menjadi tugas negara yang memiliki kewajiban untuk melindungi dan menjaga warga negaranya dari akibat melakukan suatu perbuatan hukum dalam hal ini perkawinan, maka perlu adanya peran Pemerintah berupa Pencatatan Perkawinan untuk melindungi, menjaga, dan menjamin segala hak dan kewajiban hukum setelah dilakukan perkawinan oleh pihak-pihak yang bersangkutan. Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010, menyatakan perkawinan dianggap sah jika sudah sesuai dengan ketentuan agama dan kepercayaan, dan perlu adanya kekuatan yang memaksa dari negara yang memberi perlindungan hukum bagi yang melakukan perkawinan untuk menjamin tujuan perkawinan, yaitu dengan melakukan Pencatatan Perkawinan. Hakim Konstitusi menyatakan bahwa dalil pemohon atas judicial review (uji materiil) terhadap Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, karena adanya Pencatatan Perkawinan bukan untuk menghalangi timbulnya hak-hak dari pihakpihak yang melakukan perkawinan, bahkan negara (Pemerintah) ingin melindungi hak warga negaranya agar terjamin dan terjaga hak-hak hukum bagi pihak-pihak dalam suatu perkawinan tersebut, dengan cara melakukan Pencatatan Perkawinan.

Item Type: Thesis (Sarjana)
Identification Number: SKR/FH/2015/159/051504340
Subjects: 300 Social sciences > 340 Law
Divisions: Fakultas Hukum > Ilmu Hukum
Depositing User: Budi Wahyono Wahyono
Date Deposited: 14 Jul 2015 13:40
Last Modified: 27 Apr 2022 01:00
URI: http://repository.ub.ac.id/id/eprint/112176
[thumbnail of Skripsi_-_Dio_Permana_Putra_-_115010100111020_-_FH_UB.pdf]
Preview
Text
Skripsi_-_Dio_Permana_Putra_-_115010100111020_-_FH_UB.pdf

Download (2MB) | Preview

Actions (login required)

View Item View Item