Radhia, HanifatiAlifa (2016) Pergelaran Bantengan Kelompok “Banteng Wareng” Di Kelurahan Madyopuro Kecamatan Kedungkandang Kota Malang. Sarjana thesis, Universitas Brawijaya.
Abstract
Di Kelurahan Madyopuro, Kota Malang, terdapat kelompok kesenian Bantengan bernama“Banteng Wareng”. Bantengan merupakan perpaduan pertunjukan tari, olah kanuragan, serta atraksi dari hewan banteng yang dimainkan oleh dua orang sebagai kepala dan ekor. Atraksi utama pergelaran Bantengan adalah adanya roh leluhur yang memasuki tubuh para pemain sehingga trance (kesurupan). Bagaimana kehidupan kelompok Bantengan yang melibatkan praktik magis tersebut justru populer di era globalisasi? Penelitian ini bertujuan mengetahui dinamika kelompok “Banteng Wareng”yang selama ini dikenal sebagai kegiatan kesenian serta faktor sosial-kultural apa saja yang melatarbelakanginya. Metode penelitian ini menggunakan pendekatan konteks untuk mendeskripsikan fenomena kesenian dalam perspektif antropologi. Teknik pengumpulan data dilakukan melalui pengamatan (observation) dan wawancara mendalam (indepth interview). Hasil penelitian menunjukkan adanya dimensi-dimensi pada pergelaran Bantengan di Kelurahan Madyopuro. Pertama, dimensi sosial, yakni pergelaran Bantengan di Madyopuro hidup dan tumbuh atas inisiatif warga setempat untuk menghidupkan kegiatan lingkungan, serta berfungsi sebagai hiburan. Kedua, dimensi kultural, yakni Bantengan memuat tradisi budaya Jawa yang masih dilestarikan hingga saat ini. Tradisi tersebut tampak dalam praktik ritual sebelum pergelaran Bantengan yang dilakukan di pohon beringin. Di pohon beringin inilah berdiam arwah leluhur yang dipercaya sebagai pembabat alas dari Desa Madyopuro. Praktik-praktik dalam pergelaran Bantengan ini tidak rasional, di luar nalar manusia serta mengandung sisi magis. Akan tetapi hal tersebut dapat didekonstruksi dalam perspektif posmodernisme. Pemikiran dominan saat ini adalah semakin kita mengikuti rasio, maka semakin maju peradaban manusia. Akan tetapi pemikiran posmodernisme justru menghargai, menggali kearifan masa lalu dan bersikap mendengar segala pemikiran yang dianggap tabu, irasional, mistis dan magis. Pergelaran Bantengan yang diberi nafas kehidupan oleh kelompok“Banteng Wareng” menandai adanya gerakan revitalisasi budaya sebagai bentuk adaptasi di era globalisasi.
English Abstract
In Madyopuro, Malang city, there are Bantengan group named "Banteng Wareng". Bantengan is a performance though kanuragan, as well as the attractions of animals bull played by two people as the head and tail. The main attractions Bantengan performance is the presence of ancestral spirits that enter the body of the players so that trance (trance). How life Bantengan group with magical practice is popular in the era of globalization? This study aims to determine the dynamics of the group "Banteng Wareng". What is socio-cultural factors of this phenomenon. This research method using context approach to describe the phenomenon of art in the perspective of anthropology. Data was collected through observation and in-depth interviews. Results showed that there are dimensions of the Bantengan performances in Madyopuro. In the social dimension, Bantengan performances in Madyopuro live and grow by the initiative of local residents to turn environmental activities and serves as an entertainment. In the cultural dimension, Bantengan reflect tradition of Javanese culture is still preserved to this day. The tradition appears in ritual practice before the Bantengan conducted in a beringin tree. In this tree dwelling ancestors are believed to be the base of the village Madyopuro. Practices in Bantengan is irrational, beyond human reason and contains magical side. But it can be deconstructed in postmodern perspective. The dominant thinking today is more follow the ratio, the more advanced human civilization. But postmodernism actually appreciate, explore the wisdom of the past and listen all the thoughts that are considered taboo, irrational, mystical and magical. Bantengan performances were given the breath of life by a group of "Banteng Wareng" indicates that movement of cultural revitalization can be seen as a form of adaptation in the era of globalization.
Item Type: | Thesis (Sarjana) |
---|---|
Identification Number: | SKR/FBS/2016/117/ 051601253 |
Subjects: | 300 Social sciences > 306 Culture and institutions |
Divisions: | Fakultas Ilmu Budaya > Antropologi Budaya |
Depositing User: | Kustati |
Date Deposited: | 07 Mar 2016 09:31 |
Last Modified: | 07 Mar 2016 09:31 |
URI: | http://repository.ub.ac.id/id/eprint/101974 |
Actions (login required)
View Item |