Optimalisasi Usahatani Terpadt Tanaman Dan Ternak (Crop-Livestock Farming System) Menujl Sistem Pertanian Berkelanjutan Dl Daerah Persawahan (Kasus Di Desa Sukowiyono Dan Jatirejo, Padas, Ngawi, Jatim)

Soekardono, - (2004) Optimalisasi Usahatani Terpadt Tanaman Dan Ternak (Crop-Livestock Farming System) Menujl Sistem Pertanian Berkelanjutan Dl Daerah Persawahan (Kasus Di Desa Sukowiyono Dan Jatirejo, Padas, Ngawi, Jatim). Doktor thesis, Universitas Brawijaya.

Abstract

Penelitian ini dilakukan atas dasar kenyataan masih rendahnya pendapatan rumah tangga petani sebagai akibat (1) sempitnya lahan garapan petani, (2) makin menurunnya produktivitas lahan, dan (3) masih rendahnya kontribusi usahatani temak terhadap pendapatan usahatani. Oleh karena itu usahatani terpadu tanaman dan temak merupakan altematif yang perlu dipertimbangkan sehingga perlu diteliti. Tujuan utama penelitian ini adalah untuk mendiskripsikan kondisi optimal usahatani terpadu tanaman pangan dan temak sapi dengan mempertimbangkan sistem pertanian berkelanjutan. Disamping itu juga imtuk menganalisis komposisi pendapatan rumah tangga petani (RTP), kontribusi usahatani temak sapi terhadap pendapatan RTP, surplus ekonomi rumah tangga dan distribusi pendapatan RTP. Penelitian dilakukan di desa Sukowiyono dan Jatirejo, kecamatan Padas, kabupaten Ngawi dengan menggunakan metode survei. Desa Sukowiyono mewakili daerah irigasi dan Jatirejo mewakili daerah tadah hujan. Sampel diambil secara stratified random sampling. Strata ditetapkan berdasarkan penguasaan lahan sawah sebagai berikut: strata I adalah petani yang menguasai lahan >1 ha, strata II menguasai antara 0,50 -<1 ha, strata III menguasai antara 0,25 -< 0,50 ha , strata IV menguasai < 0,25 ha, dan strata V adalah buruh tani (tidak menguasai lahan sawah). Pengumpulan data dilakukan dengan cara wawancara dan pengamatan langsung pada obyek penelitian. Analisis data menggunakan analisis pendapatan usahatani, indek gini rasio, dan linear programming. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar pendapatan rumah tangga petani masih berasal dari usahatani tanaman pangan (padi dan palawija). Kontribusi usahatani temak sapi terhadap pendapatan RTP masih relatif kecil. Pendapatan rumah tangga petani di daerah irigasi dengan rata-rata penguasaan lahan sawah 0,65 ha, pemeliharaan sapi 0,83 UT dan tenaga keija keluarga 2,31 TKSP dapat mencapai Rp.9.464.000, - per tahun atau Rp.789.000, - per bulan atau Rp. 236.000,- per kapita per bulan. Pendapatan ini berasal dari usahatani tanaman pangan 80%, usahatani temak sapi 7% dan usaha luar usahatani 13%. Pendapatan rumah tangga petani di daerah tadah hujan dengan penguasaan lahan sawah rata- rata 0,56 ha, pemeliharaan sapi 0,60 UT, dan tenaga keija keluarga 2,10 TKSP mencapai Rp.5.863.000,- per tahun atau Rp.489.000, - per bulan atau Rp.146.400, - per kapita per bulan. Pendapatan ini berasal dari usahatani tanaman pangan 68%, usahatani temak sapi 6% dan usaha luar usahatani 26%. Apabila dibandingkan dengan batas garis kemiskinan menurut BPS (2000), yaitu setara dengan pengeluaran rumah tangga perdesaan nasional sebesar Rp. 74.272, - per kapita per bulan, maka rata -rata rumah tangga petani baik di daerah irigasi maupun tadah hujan tergolong cukup mampu. Suiplus ekonomi rumah tangga petani di daerah i irigasi rata-rata Rp.5.793.000, - per tahun dan di daerah tadah hujan Rp.2.849.000,- per tahun. Dari analisis distribusi pendapatan dapat disimpulkan bahwa tingkat ketimpangan distribusi penguasaan lahan sawah dan pendapatan usahatani antar kelompok rumah tangga petani tergolong moderat (sedang). Di daerah irigasi angka gini pendapatan usahatani tanaman adalah 0,48 , pendapatan usahatani tanaman dan temak sapi 0,45, dan pendapatan dari semua cabang usaha 0,42. Di daerah tadah hujan, angka gini pendapatan usahatani tanaman adalah 0,42, pendapatan usahatani tanaman dan temak sapi 0,39, dan pendapatan dari semua cabang 0,26. Angka gini distribusi penguasan lahan sawah baik di daerah irigasi maupun tadah hujan adalah 0,45. Dari angka gini tersebut, terlihat bahwa usahatani temak sapi dan usaha di luar usahatani dapat memperbaiki ketimpangan distribusi pendapatan. Dengan memasukkan pendapatan usahatani temak sapi dalam perhitungan, dapat menurunkan angka gini di daerah irigasi dari 0,48 menjadi 0,45 dan di daerah tadah hujan dari 0,42 menjadi 0,39. Dari analisis optimalisasi linear programmning diperoleh nilai program optimal pendapatan bersih usahatani di daerah irigasi sebesar Rp. 10.514.626,- dan di daerah tadah hujan Rp.5.377.210,-. Nilai-nilai tersebut lebih besar dari pada nilai pendapatan bersih aktual, yaitu di daerah irigasi Rp.8.243.000,- dan di daerah tadah hujan Rp.4.341.000, -. Hal ini menunjukkan bahwa pengelolaan usahatani baik di daerah irigasi maupun di daerah tadah hujan belum optimal. Hasil analisis post optimal menunjukkan bahwa dengan menambah jumlah pemeliharaan temak sapi menjadi 1,05 UT ( 1 ekor sapi dewasa = 1UT; 1 ekor sapi muda = Vi UT; 1 ekor pedet = V* UT) di daerah irigasi dan 0,81 UT di daerah tadah hujan dapat merubah nilai program optimal di daerah irigasi menjadi Rp.11.010.465,- atau naik 5% dan di daerah tadah hujan menjadi Rp.5.567.472,- atau naik 4%. Ini berarti bahwa dari aspek ekonomi usaha temak sapi dapat menjadi sumber pendapatan bagi rumah tangga petani. Disamping itu, dengan bertambahnya jumlah temak sapi tersebut akan menambah produksi pupuk kandang menjadi sekitar 2,5 ton per tahun di daerah irigasi dan 1,9 ton per tahun di daerah tadah hujan. Jika pupuk kandang mengandung 0,5% N, 0,25% P205 dan 0,5% K20 (Vandijk, 1951 dalam Sutejo, 2002) maka produksi pupuk kandang di daerah irigasi tersebut setara dengan pupuk unsur N 12,5 kg, pupuk unsur P 6,25 kg dan pupuk unsur K 12,5 kg dan di daerah tadah hujan setara dengan pupuk unsur N 9,28 kg, pupuk unsur P 4,64 kg, dan pupuk unsur K 9,28 kg. Fungsi pupuk kandang yang lebih penting adalah untuk memperbaiki struktur dan kesuburan tanah Dengan demikian ditinjau dari aspek ekonomi dan biofisik, usahatani terpadu tanaman pangan dan temak sapi dapat menunjang sistem pertanian berkelanjutan.

English Abstract

This research was conducted because of the fact that farm-income is low due to; (1) narrow cultivated land, (2) decreased land productivity, and (3) less contribution of animal (cattle) production in farm-income. The crop-livestock farming system (CLS) is an alternative to be considered to improve the condition, and need to be studied. The main objective of this research was to evaluate the optimum condition of the crop-livestock (cattle) farming system (CLS) considering sustainable agriculture. This research was also aimed to analyze the composition of family - income, contribution of cattle production in the family -income, the distribution of the family -income and surplus of household economy. The research was carried out in Sukowiyono and Jatirejo villages, the regent of Padas, Ngawi district. Sukowiyono village was selected to represent irrigated farms and Jatirejo village to represent un irrigated farms. Samples were determined using stratified random sampling technique. The strata were decided based on land ownership, i.e; Stratum I = farmers with 1 ha land, Stratum II = farmers with 0.5 -<1.0 ha land, Stratum III = farmers with 0.25 - < 0.50 ha land, Startum IV = farmers with < 0.25 ha land, and Stratum V = workers who do not have land. The data were collected through interview to farmers and direct observation to research objects, and analyzed using analysis of farm income, ratio gini index, and linear programming model. Research finding showed that most of family income was generated from rice and crops production, while cattle production farming system contribution was still relatively small. A typical household farmer in irrigated area who cultivated 0.65 ha land, raised 0.83 AU (AU = one head of mature cattle), and had 2.31 family labor in average made approximately Rp 9,464,000 per year, equivalent to Rp. 789,000 per mount or Rp. 263,000 per capita per month. This family income was Rp. 80 % generated from plant production; 7 % from cattle production, and the rest 13 % from off-farm activities. Meanwhile, farmer in rain-fed farm area who cultivated 0.56 ha land, raised 0.60 AU, and occupied 2.10 family labor in average made approximately Rp 5,863,000 per year, equivalent to Rp. 489,000 per mount or Rp. 146,400 per capita per month. This family income was 68 % generated from plant production; 6 % from cattle production, and the rest 26 % from off-farm activities. This family income has well above the BPS (2000) minimum poverty household income which is equivalent to Rp. 74.272 per capita per month. This means that the household farmer income in the research area has been well enough for they have had an economic surplus for Rp. 5,793,000. and Rp. 2,849,000 per household year respectively. iii Income distribution analysis exposed the Gini Ratio Index in the irrigated area were 0.48, 0.45, 0.42 each for crop enterprise farming system , crop and cattle combination enterprise farming system, and whole farming system unit income respectively. Those index was found little bit smaller in rain fed area, which were 0.42, 0.39, and 0.26 for each farming system types. Furthermore, it was also found that the GR index of land ownership distribution on both irrigated and rain-fed area was 0.45 which means that there was a moderate distributed tendency on both land ownerships and household income in the research area. Never the less, since a couple of the indexes (0.45 and 0.48) were closed to high inequality limit, 0.50, it still needs to pay attention with. The inequality distribution tendency could be corrected by improving such a cattle enterprise farming system as well as off farm activities. The optimization of linear programming analysis showed that the optimum solution value of net farm income were Rp. 10,514,626 and Rp 5,377,210 for irrigated and rain -fed areas respectively. Those value was some how higher than the actual net farm income which were Rp. 8,243,000 and Rp 4,341,000 which means that the farming management system in both area types has not been optimal yet. Post analysis simulation showed that adding the size of cattle raised on farming system until 1 AU could alter the final value to be Rp. 11,010,465 (5 % higher) and Rp 5,567,472 (4 % higher) each for two area types respectively, which means that cattle enterprise farming system is recommendable for the farmer household income sources alternative. More cattle raised also means higher manure produced. Raising one AU per household could produce 2.5 ton of manure which is equal to 12.5 kg of Urea/ZA, 6,25 kg of SP-36/Ponshka, and 12,5 kg of KcL. Since the manure fertilizer is quite important in keeping the soil structure as well as soil fertility, this compound farming system is potential in supporting sustainable agriculture development.

Item Type: Thesis (Doktor)
Identification Number: -
Divisions: S2/S3 > Doktor Ilmu Pertanian, Fakultas Pertanian
Depositing User: soegeng sugeng
Date Deposited: 31 Jul 2024 04:16
Last Modified: 31 Jul 2024 04:16
URI: http://repository.ub.ac.id/id/eprint/226038
[thumbnail of SOEKARDONO.pdf] Text
SOEKARDONO.pdf

Download (42MB)

Actions (login required)

View Item View Item