Kemiskinan dan Dinamika Masyarakat Kepulauan (Studi Kasus Di Desa Watidal Kecamatan Tanimbar Utara Kabupaten Kepulauan Tanimbar Provinsi Maluku)

Maswekan, Max and Prof. Dr. Ir. Sanggar Kanto, MS and Prof. Dr. Ir. Darsono Wisadirana, MS and Dr. Ir. Edi Susilo, MS (2022) Kemiskinan dan Dinamika Masyarakat Kepulauan (Studi Kasus Di Desa Watidal Kecamatan Tanimbar Utara Kabupaten Kepulauan Tanimbar Provinsi Maluku). Doktor thesis, Universitas Brawijaya.

Abstract

Kemiskinan yang dialami masyarakat Desa Watidal khususnya dan masyarakat Tanimbar umumnya pada dasarnya diakibatkan oleh tiga sebab utama, yakni kemiskinan natural (natural poverty), kemiskinan struktural (structural poverty), dan kemiskinan kultural (cultural poverty). Kemiskinan natural, artinya kemiskinan yang dialami masyarakat Desa Watidal karena kondisi geografis wilayah sebagai wilayah kepulauan yang kurang mendukung masyarakat malakukan aktivitas sosial dan ekonomi secara maksimal baik untuk meningkatkan pendapatan (income) dan kesejahteraan rumahtangganya maupun untuk mengembangkan usaha serta potensi yang dimiliki (baik potensi diri maupun sosial dan alam). Selama belum terbukanya akses pada kurung waktu sebelum tahun 1999/2000, selama masa itu masyarakat Desa Watidal mengalami kesulitan terutama masalah transportasi darat yang menghubungkan Desa Watidal ke Kecamatan di Kota Larat dan ke Saumlaki ibukota Kabupaten Maluku Tenggara Barat/Kepulauan Tanimbar. Kondisi itu baru berubah di atas tahun 1999/2000, setelah terjadi pemekaran wilayah (otonomi) yang mana Kepulauan Tanimbar dimekarkan menjadi Kabupaten Maluku Tenggara Barat dari Kabupaten induk Maluku Tenggara. Bersamaan dengan itu pembangunan mulai gencar dilaksanakan oleh Pemerintah baik pusat, provinsi maupun kabupaten sendiri. Secara bertahap akses masyarakat mulai terbuka dengan dibangunnya berbagai infrastruktur dasar terutama jalan darat yang membuka isolasi masyarakat Tanimbar di bagian Utara di mana Desa Watidal menjadi bagiannya dengan bagian Selatan teristimewa akses jalan (Trans Yamdena) menuju ke ibukota Kabupaten di Saumlaki. Seirama dengan itu mobilitas sosial dan ekonomi masyarakat Tanimbar bagian Utara mulai perlahan-lahan terlihat bangkit tidak terkecuali masyarakat Desa Watidal. Intinya, kemiskinan natural atau geografi ini merupakan ciri dari masyarakat wilayah kepulauan yang berbeda dengan masyarakat kontinental atau wilayah daratan. Sementara penyebab lain adalah Kemiskinan Struktural (structural poverty). Kemiskinan ini lebih disebabkan oleh faktor manusia (human error), artinya masyarakat Desa Watidal miskin bukan karena tidak memiliki sumber daya alam (SDA) dan sosial (SDS) ataupun sumberdaya manusia (SDM), tetapi karena faktor kebijakan-kebijakan pembangunan oleh pengambil/penentu kebijakan (policy making) secara struktural, seperti program-program pembangunan yang kurang menyentuh dan merata untuk semua wilayah. Bentuk kebijakan ini sangat terasa pada masa sebelum pemekaran wilayah Kepulauan Tanimbar menjadi kabupaten otonom, dimana pembangunan cenderung lebih banyak terkonsentrasi di Kabupaten induk. Kondisi itu mengakibatkan perubahan sangat lambat pada wilayah-wilayah kecamatan terutama Kecamatan Tanimbar Utara yang di dalamnya ada Desa Watidal. Selain dua faktor penyebab tersebut, kemiskinan masyarakat Desa Watidal juga disebabkan karena Kemiskinan kultural (cultural poverty). Penyebab utama kemiskinan kultural ini adalah faktor budaya. Faktor budaya ini berkaitan erat dengan karakter atau mentalitas dan kecenderungan orientasi pandangan hidup (world view) masyarakat tentang hidup yang memengaruhi sikap dan perilakunya terhadap kerja dan hidup. Masyarakat memiliki sumberdaya (alam dan sosial) yang tersedia, namun belum dimanfaatkan secara baik dan maksimal, sehingga kehidupan masyarakat lambat berubah. Masyarakat terus berada dalam kondisi statis, tertinggal, dan miskin. Di sisi lain, sumberdaya alam tersedia tetapi masyarakat kurang terdorong berusaha dan bekerja keras mengolahnya. Karakter masyarakat ini diakibatkan oleh alam yang meman-jakan/meninabobokan manusianya sehingga mereka merasa tidak terlalu perlu harus bersusah payah bekerja keras membanting tulang untuk memenuhi kebutuhan rumahtangga serta meningkatkan kesejahteraan demi masa depan yang lebih baik. Karakter tersebut dialami oleh masyarakat Desa Watidal khususnya dan xii masyarakat Tanimbar umumnya. Padahal potensi sumberdaya alam maupun sosial cukup tersedia. Ketiga penyebab utama kemiskinan masyarakat Desa Watidal khususnya dan masyarakat Tanimbar umumnya, membuat mereka harus mencari cara atau strategi untuk bertahan hidup di tengah kesulitan, tantangan, serta kemiskinan yang dialami. Salahatu cara yang dilakukan masyarakat Desa Watidal khususnya dan masyarakat Tanimbar umumnya adalah melakukan divesifikasi pekerjaan dan tanaman, yakni tidak saja satu pekerjaan tertentu yang menjadi pekerjaan utama atau pokok yang dilakukan atau ditekuni, tetapi pekerjaan lain juga dilakukan (diversification job). Begitupun tidak hanya satu tanaman pangan ditanam, tetapi lebih dari satu terutama tanaman lokal, sehingga selalu tersedia pangan jika mengalami kesulitan terutama bila tidak punya cukup uang untuk membeli beras, atau di saat terjadi masa-masa sulit (paceklik). Jadi, diversifikasi pekerjaan dan beragam jenis tanaman pangan dilakukan adalah cara atau strategi bertahan hidup (survival) di tengah kesulitan serta kemajuan dan perubahan sosial yang terjadi sebagai dampak pembangunan yang digalakan pemerintah. Di tengah giat-giatnya pembangunan yang digalakan pemerintah setelah pemekaran wilayah Kepulauan Tanimbar menjadi daerah otonom baru, masyarakat Desa Watidal khususnya dan masyarakat Tanimbar umumnya mengalami perubahan yang cukup drastis terutama pada aspek fisik dan sosial-budaya. Pertama, pada aspek fisik terutama perubahan moda tranportasi laut ke moda transportasi darat. Sebagian besar masyarakat kemudian beralih pilihan dan orientasi dari menggunakan transportasi laut yang dulunya menjadi andalan utama dalam aktivitas sosial ekonomi, memilih beralih menggunakan transportasi darat terutama setelah jalan Trans Yamdena yang menghubungkan wilayah jazirah utara (di dalamnya termasuk Desa Watidal) dan wilayah jazirah selatan. Kedua, pada aspek sosila-budaya, perubahan dengan mudah akan terjadi terutama pada segi nilai-nilai adat-budaya seperti nilai-nilai gotong-royong (tolong-menolong), keberasamaan dan kekerabatan, seperti nilai budaya tasdouw dan duan-lolat. Namun karena kuatnya masyarakat Desa Watidal khususnya dan masyarakat Tanimbar umumnya, sehingga nilai-nilai adat-budaya tersebut tidak terkikis atau hilang, namun sebaliknya tetap dipraktekkan dalam kehidupan bermasyarakat. Artinya, walaupun terjadi perubahan pada aspek fisik/kewilayahan namun dengan nilainilai sosial-budata tersebut masyarakat mampu beradaptasi dengan kemajuan dan perubahan sosial yang terjadi.

English Abstract

The poverty experienced by the Watidal Village community in particular and the Tanimbar community in general is basically caused by three main causes, namely natural poverty, structural poverty, and cultural poverty. Natural poverty, meaning the poverty experienced by the Watidal Village community due to the geographical conditions of the area as an archipelago which does not support the community to carry out social and economic activities to the fullest both to increase income and welfare of their households as well as to develop their business and potential (both self-potential as well as social and natural). As long as access was not open in the time frame before 1999/2000, during that time the people of Watidal Village experienced difficulties, especially the problem of land transportation connecting Watidal Village to the District in Larat City and to Saumlaki, the capital of West Southeast Maluku Regency/Tanimbar Islands. This condition only changed in 1999/2000, after the division of the region (autonomy) occurred where the Tanimbar Islands were split into West Southeast Maluku Regency from the main Southeast Maluku Regency. At the same time, development began to be intensively carried out by the central, provincial and district governments themselves. Gradually people's access began to open with the construction of various basic infrastructure, especially land roads that opened up the isolation of the Tanimbar community in the northern part of which Watidal Village was part of, with the southern part in particular the access road (Trans Yamdena) leading to the district capital in Saumlaki. In line with that, the social and economic mobility of the people of North Tanimbar began to slowly appear to rise, including the people of Watidal Village. In essence, this natural or geographical poverty is a characteristic of the people of the archipelago which is different from the people of the continent or the mainland. Meanwhile, another cause is structural poverty. This poverty is more caused by human factors (human error), meaning that the people of Watidal Village are poor not because they do not have natural and social resources (SDA) or human resources (HR), but because of development policies by the decision makers. Structurally, such as development programs that do not touch and are evenly distributed for all regions. This form of policy was very pronounced in the period before the division of the Tanimbar Islands into an autonomous district, where development tended to be more concentrated in the parent district. This condition resulted in very slow changes in sub-district areas, especially North Tanimbar District, which includes Watidal Village. In addition to these two causal factors, the poverty of the people of Watidal Village is also caused by cultural poverty. The main cause of this cultural poverty is cultural factors. This cultural factor is closely related to the character or mentality and tendency of people's worldview orientation about life which influences their attitude and behavior towards work and life. Communities have resources (natural and social) that are available, but they have not been used properly and maximally, so people's lives are slow to change. Society continues to be in a static condition, left behind, and poor. On the other hand, natural resources are available but people are not motivated to try and work hard to process them. The character of this society is caused by nature which indulges/lulls its people so that they do not feel the need to have to work hard to meet their household needs and improve their welfare for a better future. This character is experienced by the Watidal Village community in particular and the Tanimbar community in general. Even though the potential of natural and social resources is quite available. The three main causes of poverty for the Watidal Village community in particular and the Tanimbar community in general, make them have to find ways or strategies to survive in the midst of the difficulties, challenges and poverty they experience. One way that is done by the Watidal Village community in particular and the Tanimbar community in general is to diversify jobs and crops, that is, not only one particular job is the main or main job that is carried out or xiv occupied, but other jobs are also carried out (diversification jobs). Likewise, not only one food crop is planted, but more than one, especially local crops, so that food is always available if you experience difficulties, especially when you don't have enough money to buy rice, or during difficult times (famine). So, job diversification and various types of food crops are carried out as a way or strategy for survival in the midst of difficulties, as well as progress and social changes that have occurred as a result of the development promoted by the government. In the midst of the vigorous development promoted by the government after the expansion of the Tanimbar Islands region into a new autonomous region, the Watidal Village community in particular and the Tanimbar community generally experienced quite drastic changes, especially in the physical and socio-cultural aspects. First, on the physical aspect, especially the change in sea transportation mode to land transportation mode. Most of the people then changed their choice and orientation from using sea transportation which used to be the mainstay in socio-economic activities, choosing to switch to using land transportation, especially after the Trans Yamdena road which connects the northern peninsula area (which includes Watidal Village) and the southern peninsula area. Second, in the socio-cultural aspect, changes will easily occur, especially in terms of customary-cultural values such as the values of mutual cooperation (help), togetherness and kinship, such as the cultural values of tasdouw and duan-lolat. However, because of the strength of the Watidal Village community in particular and the Tanimbar community in general, these customary-cultural values are not eroded or lost, but instead are still practiced in social life. This means that even though there have been changes in the physical/territorial aspects, with these socio-cultural values the community is able to adapt to the progress and social changes that have taken place.

Item Type: Thesis (Doktor)
Identification Number: 062311
Uncontrolled Keywords: Kemiskinan, wilayah kepulauan, alam, struktur, budaya, diversifikasi pekerjaan dan pangan, perubahan fisik, perubahan sosial-budaya.
Divisions: S2/S3 > Doktor Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Depositing User: Endang Susworini
Date Deposited: 02 Feb 2024 03:53
Last Modified: 02 Feb 2024 03:53
URI: http://repository.ub.ac.id/id/eprint/215065
[thumbnail of DALAM MASA EMBARGO] Text (DALAM MASA EMBARGO)
max maswekan.pdf
Restricted to Registered users only

Download (6MB)

Actions (login required)

View Item View Item