Samichah, - and Prof. Dr. dr. Sri Andarini, M.Kes, Sp.KKLP and Prof. Dian Handayani, SKM, M.Kes, PhD (2023) Pengaruh Substitusi Beras Coklat sebagai Makanan Pokok terhadap Profil Mikrobiota Usus, Short-Chain Fatty Acid (SCFA), dan Asupan Magnesium Harian pada Penderita Diabetes Mellitus Tipe 2. Magister thesis, Universitas Brawijaya.
Abstract
Diabetes mellitus tipe 2 (DMT2) merupakan penyakit metabolik yang ditandai dengan kehilangan kontrol glukosa darah yang menyebabkan hiperglikemia, karena respon yang rendah terhadap insulin. Diabetes mellitus (DM) merupakan masalah global dan nasional, dan termasuk 10 penyebab kematian di dunia, dan angkanya terus meningkat dari tahun ke tahun. Perkembangan ekonomi memicu pergeseran pola makan menjadi tidak sehat, seperti diet tinggi kalori, lemak, atau karbohidrat refinasi. Pemrosesan biji-bijian utuh menjadi biji-bijian refinasi, dapat menurunkan nilai gizinya termasuk serat, mikronutrien, dan fitokimia. Asupan biji-bijian refinasi sebagai makanan pokok dapat meningkatkan resiko DM, sebaliknya asupan biji-bijian utuh dapat menurunkan resiko DM. Hiperglikemia kronis pada DMT2 memicu glikasi usus, menyebabkan penurunan survival dari bakteri komensal usus, sehingga terjadi ketidakseimbangan komposisi mikrobiota usus (disbiosis usus). Kondisi ini menyebabkan gangguan permeabilitas usus, inflamasi tingkat rendah, serta memperburuk resistensi insulin, sehingga mempercepat komplikasi DM. Firmicutes dan Bacteroidetes merupakan filum yang mendominasi mikrobiota usus, berperan penting mempertahankan kesehatan inang. Pada DMT2, terjadi penurunan rasio Firmicutes:Bacteroidetes (F/B) dan berkorelasi negatif dengan kadar glukosa plasma. Mikrobiota usus memfermentasi serat di kolon, yang meningkatkan pertumbuhan mikrobiota usus dan memproduksi short-chain fatty acid (SCFA), berupa asam asetat, propionat, dan butirat. SCFA dapat berikatan dengan G protein-coupled receptor 41 (GPR41) dan 43 (GPR43) di usus, memicu sekresi hormon usus seperti Glucagon-like protein 1 (GLP-1) dan peptide YY (PYY) yang akan memperlama pengosongan lambung, meningkatkan rasa kenyang, sehingga menurunkan asupan energi. GLP-1 juga secara langsung dapat memicu sekresi insulin dan menghambat glukagon melaui interaksinya dangan sel β-pankreas. SCFA juga dapat menurunkan glikolisis dan glukoneogenesis, serta meningkatkan sintesis glikogen di hati, serta meningkatkan uptake glukosa di otot skeletal dengan meningkatkan ekspresi GLUT4. Pada penderita DMT2 terjadi penurunan jumlah bakteri penghasil butirat, seperti Bifidobacterium, Akkermansia, dan Faecalibacterium. Diet tinggi serat terbukti dapat meningkatkan pertumbuhan mikrobiota usus penghasil SCFA, memperbaiki komposisi mikrobiota usus, berkorelasi dengan GLP-1, menurunkan HbA1c, dan memperbaiki regulasi glukosa darah. Magnesium juga berperan dalam manajemen DMT2, dengan meningkatkan penyerapan glukosa yang dimediasi insulin serta meningkatkan sensitivitas insulin. Kadar magnesium darah yang rendah memicu peningkatan sekresi insulin serta mengganggu jalur pensinyalan insulin, sehingga menyebabkan resistensi insulin, hiperglikemia, dan komplikasi DMT2. Asupan magnesium harian yang inadekuat merupakan faktor utama penyebab hipomagnesemia pada DMT2. Beras coklat adalah beras putih yang tidak mengalami proses refinasi berupa penyosohan, sehingga masih terdapat lapisan dedak (pericarp dan aleuron). Beras coklat lokal Indonesia varietas ‘Sintanur’ mengandung zat bioaktif yang jauh lebih tinggi dari beras putih lokal vii varietas yang sama, meliputi serat 5 kali lipat lebih tinggi, β-glucan 5 kali, dan magnesium 7,7 kali. Kandungan serat dan magnesium yang tinggi ini sangat penting dalam manajemen DMT2. Selain itu beras coklat juga memiliki indeks glikemik yang rendah dibanding beras putih, yaitu 10-70. Penelitian ini bertujuan untuk melihat pengaruh substitusi beras coklat sebagai makanan pokok terhadap profil mikrobiota usus, SCFA, dan asupan magnesium harian pada penderita DMT2. Penelitian eksperimental one group controlled-feeding pre-post test design ini, terdiri dari 2 periode intervensi masing-masing selama 3 bulan dan dipisahkan dengan washing-out selama 2 minggu. Periode 1 intervensi berupa diet DM dengan makanan pokok beras coklat (BR), sedangkan periode 2 berupa diet DM dengan makanan pokok beras putih (WR). Subjek terdiri dari 17 wanita diabetes dengan obat anti diabetes oral (OAD), dipilih dengan metode purposive sampling sesuai kriteria inklusi. Profil mikrobiota usus dianalisis menggunakan Quantitative Real-Time PCR (qPCR), SCFA dianalisis menggunakan Gas Chromatography (GC), sedangkan asupan magnesium harian dianalisis menggunakan software Nutrisurvey 2007. Selain itu, selama intervensi juga dilakukan monitoring terhadap nilai antropometri berupa indeks massa tubuh (IMT), indeks lemak tubuh (BFI), lingkar perut, dan lemak viseral, serta nilai biokimia berupa gula darah puasa (GDP), gula darah 2 jam postprandial (GD2JPP), HbA1c, dan HOMA-IR indeks. Uji paired-t test dan Wilcoxon digunakan untuk menganalisis perbedaan perubahan konsentrasi SCFA (asetat, propionat, butirat, total SCFA), asupan magnesium harian, perubahan nilai antropometri dan biokimia setelah intervensi BR dan WR. Hasilnya, setelah intervensi BR subjek memiliki profil mikrobiota yang lebih baik, dengan peningkatan filum Firmicutes, filum Bacteroidetes yang lebih rendah, dan rasio F/B yang lebih tinggi dibandingkan setelah intervensi WR. Tidak terdapat peningkatan konsentrasi asetat dan total SCFA, serta konsentrasi propionat lebih rendah dibandingkan setelah intervensi WR, namun terdapat peningkatan konsentrasi butirat setelah intervensi BR meskipun tidak signifikan. Meskipun total SCFA setelah intervensi BR menurun karena konsentrasi asetat dan propionat yang rendah, namun presentase komposisi SCFA lebih mendekati komposisi normal (62:21:16 %). Terdapat perbedaan signifikan asupan magnesium harian pada penderita DMT2 yang diberi beras coklat sebagai makanan pokok, dengan rerata asupan magnesium 574,02 mg/hari. Selain itu, terdapat penurunan nilai antropometri dan biokimia secara signifikan setelah intervensi BR. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa substitusi BR sebagai makanan pokok berpengaruh terhadap profil mikrobiota usus, SCFA, dan asupan magnesium harian penderita DMT2. Kandungan serat yang tinggi pada BR dapat mengubah jumlah dan komposisi mikrobiota usus, serta memperbaiki disbiosis usus pada DMT2. Peningkatan jumlah Firmicutes menyebabkan peningkatan produksi butirat, sedangkan jumlah Bacteroidetes yang lebih rendah menyebabkan penurunan produksi asetat dan konsentrasi propionat menjadi lebih rendah. Rasio F/B yang lebih tinggi menyebabkan presentase komposisi SCFA mendekati normal. Perbaikan disbiosis usus dan peningkatan asam butirat serta perbaikan komposisi SCFA ini, berperan dalam perbaikan barrier usus, menurunkan inflamasi, perbaikan kontrol glukosa, serta nilai antropometri penderita DMT2. Terlebih lagi, asupan magnesium harian lebih tinggi secara signifikan setelah intervensi BR dan dapat memenuhi kebutuhan harian pasien DMT2. Kandungan magnesium yang sangat tinggi pada BR ini dapat memperbaiki kerja insulin dan kontrol glukosa pada penderita DMT2.
English Abstract
Type 2 diabetes (T2D) is a metabolic disease characterized by loss of blood glucose control causing hyperglycaemia, due to low response to insulin. Diabetes mellitus (DM) is global and national problem, included as top 10 causes of death in the world, and the number continues to increase over the year. Economic developments trigger unhealthy eating patterns, such as high calories, fat, and refined carbohydrate diets. Processing whole grains into refined grains, can reduce their nutritional value including fiber, micronutrients, and phytochemicals. Refined grains intake as staple food increasing DM risk, whereas whole grains intake reducing DM risk. Chronic hyperglycaemia in T2D triggers gut glycation, causing decreased survival of gut microbiota and imbalance composition of gut microbiota (gut dysbiosis). This condition induces impaired gut permeability, low-grade inflammation, and exacerbates insulin resistance, thereby accelerate DM complications. Firmicutes and Bacteroidetes are dominant gut microbiota phyla, play important role in maintaining host’s health. In T2D, Firmicutes:Bacteroidetes ratio is decrease and negatively correlated with plasma glucose levels. Gut microbiota ferments fiber in colon, increasing the gut microbiota growth and produces short-chain fatty acid (SCFA), in the form of acetic, propionic, and butyric acids. SCFA bind to G protein-coupled receptors 41 (GPR41) and 43 (GPR43) in the gut, trigger secretion of gut hormones such as glucagon-like protein 1 (GLP-1) and peptide YY (PYY), which prolong gastric emptying, increase satiety, thereby reduce energy intake. Moreover, GLP-1 can directly induce insulin and inhibit glucagon secretion through its interaction with pancreatic β-cells. SCFA can reduce glycolysis and gluconeogenesis, increase glycogen synthesis in liver, and increase glucose uptake in skeletal muscle by increasing GLUT 4 expression. There was a decrease number of butyrate-producing bacteria in T2D patients, such as Bifidobacterium, Akkermansia, and Faecalibacterium. High-fiber diet has been shown to increase growth of SCFA-producing microbiota, improve gut microbiota composition, correlate with GLP-1, lower HbA1c, and improve blood glucose regulation. Magnesium also plays important role in T2D management, by increasing insulin-mediated glucose uptake and increasing insulin sensitivity. Low blood magnesium levels trigger insulin secretion and disrupt insulin signalling pathways, leading to insulin resistance, hyperglycaemia, and T2D complications. Inadequate daily magnesium intake is main factor causing hypomagnesemia in T2D. Brown rice is unrefined or unpolished white rice, which still containing bran layer (pericarp and aleurone). Indonesian local variety brown rice ‘Sintanur’ contains much higher bioactive substances than local white rice of the same variety, including 5 times higher fiber, 5 times β-glucan, and 7,7 times magnesium. High fiber and magnesium content plays an important roles in T2D management. In addition, brown rice also has lower glycaemic index than white rice, which is 10-70. This study aims to examine the effect of brown rice substitution as staple food on gut microbiota profile, SCFA, and daily magnesium intake in T2D patients. This experimental study with one group controlled-feeding pre-post test design, ix consisted of 2 periods of 3 months intervention separated by 2 weeks washing-out. Period 1 intervention was DM diet with brown rice (BR) as staple food, while periode 2 intervention was DM diet with white rice (WR) as staple food. This study enrolled 17 female-diabetic patients with oral antidiabetic drugs (OAD), using purposive sampling methods according to inclusion criteria. Gut microbiota profiles and SCFA were analyzed using Quantitative Real-Time PCR (qPCR) and Gas Chromatography (GC) respectively, while daily magnesium intake was analyzed using Nutrisurvey 2007 software. In addition, during intervention anthropometric values were monitored including body mass index (BMI), body fat index (BFI), abdominal circumference, and visceral fat, as well as biochemical values including fasting blood glucose (FBG), 2-hour postprandial blood glucose (2-h PBG), HbA1c, and HOMA-IR index. Paired t-test and Wolcoxon test were used to analyzed differences in changes of SCFA concentration (acetate, propionate, butyrate, total SCFA), daily magnesium intake, changes in anthropometric and biochemical values after BR and WR interventions. As a result, after BR intervention subjects had a better microbiota profile, with increase in Firmicutes phylum, lower Bacteroidetes phylum, and higher F/B ratio compared to WR intervention. There were no increase in acetate and total SCFA concentrations, and lower propionate concentrations compared to WR intervention, but there was increase in butyrate concentrations after BR intervention although not significant. Although total SCFA after BR intervention decreased due to lower concentration of acetate and propionate, the percentage composition of SCFA was much more closer to normal composition (62:21:16 %). There was significant difference in daily magnesium intake in T2D patients with brown rice intervention, with an average magnesium intake of 574,02 mg/day. Moreover, there was significant decrease in anthropometric and biochemical values after BR intervention. The results of this study indicate that substitution of BR as staple food has an effect on gut microbiota profile, SCFA, and daily magnesium intake of T2D patients. High fiber content in BR can change amount and composition of gut microbiota, and improve gut dysbiosis in T2D. Increase amount of Firmicutes induce increase in butyrate production, while lower amount of Bacteroidetes induce decrease in acetate production and lower propionate concentration. Higher F/B ratio cause SCFA composition percentage much closer to normal. Gut dysbiosis improvements and increased butyrate production, as well as SCFA composition improvements, play key role in repairing gut barrier, reducing inflammation, improving glucose control and anthropometric values in T2D patients. Furthermore, daily magnesium intake was significantly higher during BR intervention and even could meet the daily requirements of T2D patients. Great magnesium content in BR can improve insulin action and glucose control in T2D patients.
Item Type: | Thesis (Magister) |
---|---|
Identification Number: | 0423060105 |
Subjects: | 600 Technology (Applied sciences) > 616 Diseases > 616.02 Special topics of disease > 616.025 Medical emergencies / Emergency medicine / Emergency nursing / Triage (Medicine) |
Divisions: | S2/S3 > Magister Ilmu Biomedis, Fakultas Kedokteran |
Depositing User: | Endang Susworini |
Date Deposited: | 12 Dec 2023 08:31 |
Last Modified: | 12 Dec 2023 08:31 |
URI: | http://repository.ub.ac.id/id/eprint/205318 |
Text (DALAM MASA MEMBARGO)
Samichah.pdf Restricted to Registered users only until 31 December 2025. Download (5MB) |
Actions (login required)
View Item |