Penentuan Status Gerakan Separatisme Di Suatu Negara erdasarkan Hukum Internasional (Studi Kasus Organisasi Papua Merdeka Di Indonesia)

Pramastuti, Rantika and Ikaningtyas, and Hikmatul Ula, (2023) Penentuan Status Gerakan Separatisme Di Suatu Negara erdasarkan Hukum Internasional (Studi Kasus Organisasi Papua Merdeka Di Indonesia). Sarjana thesis, Universitas Brawijaya.

Abstract

Pada skripsi ini, penulis mengangkat permasalahan perihal inkonsistensi antara hukum nasional dengan hukum internasional, yakni mengenai penentuan status gerakan separatisme dalam hukum Indonesia yang jauh berbeda dengan penentuan status separatisme dalam hukum internasional. Pilihan tema tersebut dilatarbelakangi oleh terjadinya pergantian status Organisasi Papua Merdeka (OPM) dari sebelumnya merupakan organisasi separatisme, kemudian berganti lagi menjadi Kelompok Kriminal Bersenjata. Lalu, melalui Siaran Pers No.72/SP/HM.01.02/POLHUKAM/4/2021 OPM resmi ditetapkan menjadi kelompok teroris dimana OPM tidak seharusnya diberikan label sebagai teroris karena unsur-unsur dari gerakan OPM tidak memenuhi terorisme. Status OPM seharusnya kembali diubah menjadi separatis agar OPM mendapatkan hak untuk menentukan nasib sendiri ( right to self-determination) sehingga tidak terjadi pengabaian hak asasi manusia. Berdasarkan hal tersebut di atas, skripsi ini mengangkat rumusan masalah yaitu apakah penentuan OPM sebagai separatis oleh Pemerintah Indonesia sudah sesuai dengan ketentuan hukum internasional? Kemudian penulisan karya tulis ini menggunakan metode yuridis normatif dengan metode pendekatan kasus, pendekatan perundang-undangan, pendekatan komparatif, dan pendekatan konseptual. Dalam penelitian ini akan digunakan teknik pengumpulan bahan hukum melalui studi kepustakaan yang dilakukan dengan cara mengkaji literatur dan peraturan perundang-undangan yang relevan dengan topik bahasan penelitian. Analisis bahan hukum primer dan sekunder dalam penulisan skripsi ini menggunakan metode interpretasi gramatikal dan sistematis. Dari hasil penelitian dengan metode di atas, Penulis memperoleh jawaban bahwa Penentuan status OPM sebagai separatisme di Indonesia masih belum sesuai dengan hukum internasional karena status yang diberikan kepada OPM sebagai terorisme tidak sesuai dengan visi OPM untuk melakukan gerakan separatisme dan bukan untuk menebar ketakutan seperti kelompok teroris lainnya. Peneliti menunjukkan bahwa Pemerintah Indonesia menangani konflik OPM melalui pendekatan represif yang dibuktikan dari banyaknya operasi militer. Penelitian ini juga menunjukkan bahwa OPM tidak seharusnya diberikan label sebagai teroris karena unsur-unsur dari gerakan OPM tidak memenuhi unsur terorisme berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018, melainkan OPM seharusnya diberikan status sebagai kelompok separatis kembali. Hal ini didasarkan Pasal 18 huruf (c) Perjanjian New York 1962 yang memperbolehkan rakyat Papua memilih apakah rakyat Papua ingin bergabung atau memisahkan diri dari Indonesia saat PEPERA 1969. Dengan adanya Pasal 18 huruf (c) tersebut, membuat right to self-determination dapat diimplementasikan sesuai dengan Resolusi 1514 Majelis Umum PBB. Mengganti status OPM menjadi teroris berakibat yuridis yaitu hukum humaniter internasional tidak dapat diterapkan karena peraturan yang diimplementasikan untuk menangani kelompok teroris adalah Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 Tentang Tindak Pidana Terorisme, sedangkan memberikan status separatis kepada OPM membuat prinsip right to self- determination dan Pasal 3 Konvensi Jenewa berlaku.

English Abstract

In this thesis, the Author states a problem regarding the inconsistency between national law and international law that is about the status determination of the separatist movement in Indonesian law which is far different from the determination of separatism in international law. The background of the theme was chosen by the changing status of the Free Papua Movement (Organisasi Papua Merdeka/OPM) which was a separatist organization and changed to the Armed Criminal Group. Through Press Release No.72/SP/HM.01.02/POLHUKAM/4/2021, OPM is officially designated as a terrorist group where OPM shall not be labeled as a terrorist when the elements of OPM do not fulfill the concept of terrorism. OPM’s status should be changed to separatist so that OPM gets the right to self-determination in order for human rights can be achieved. Based on the foregoing, this thesis raises the problem of whether the determination of OPM as a separatist by the Government of Indonesia is in accordance with the provisions of international law? The writing of this paper uses the normative judicial method with the case approach, statutory approach, comparative approach, and conceptual approach. The technique of the research when gathering the legal materials will use a literature study which is carried out by reviewing the literature and laws and regulations that are relevant to the topic of research discussion. Analysis of primary and secondary legal materials in writing this thesis uses grammatical and systematic interpretation methods. From the result above, the Author obtained an answer that the determination of the OPM’s status to be a separatist movement in Indonesia is yet to be compatible with international law because the status that was given for OPM as a terrorist group is not conformable with the vision of OPM to do separatist movement and not spreading fear like other terrorist groups. The Author states that the Indonesian Government handles the OPM’s conflict with a repressive approach which was proven with many military operations within Papua. The Author also states that OPM shall not be given terrorist as their label since the elements of OPM do not fit the elements of terrorism in Law No. 5 of 2018 and should be changed again to be a separatist movement. This statement is based on Article 18 (c) New York Agreement 1962 which allows the Papuan to choose whether they wish to remain with Indonesia or whether they wish to sever their ties with Indonesia when the Act of Free Choice 1969 was going on. With the existence of Article 18 (c) makes the right to self- determination can be implemented based on Resolution 1514 General Assembly of the United Nations. Changing the OPM’s status to be terrorist can result in juridical consequence which is international humanitarian law can not be implemented to handle the terrorist group. The reason is that to handle the terrorist group in Indonesia is Law No. 5 of 2018 about Terrorism, whereas giving the status of a separatist to OPM makes the right to self-determination and Article 3 Geneva Convention applied.

Other obstract

Item Type:	Thesis (Sarjana)
Identification Number:	0523010037
Subjects:	300 Social sciences > 340 Law
Divisions:	Fakultas Hukum > Ilmu Hukum
Depositing User:	Nur Cholis
Date Deposited:	16 Aug 2023 03:16
Last Modified:	16 Aug 2023 03:16
URI:	http://repository.ub.ac.id/id/eprint/202478

Text (DALAM MASA EMBARGO)
Rantika Pramastuti.pdf
Restricted to Registered users only until 31 December 2025.
Download (755kB)

Actions (login required)

View Item