Michael, Tomy and Prof. Dr. Abdul Rachmad Budiono, S.H., M.H. and Prof. Dr. Moh Fadli, S.H., M.H. and Dr. Iwan Permadi, S.H., M.Hum (2021) Rekonsepsi Norma Tentang Batas Waktu Penyelenggaraan Sidang Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat Terkait Pemberhentian Presiden Dan/Atau Wakil Presiden Dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Demi Terwujudnya Kepastian Hukum. Doktor thesis, Universitas Brawijaya.
Abstract
Proses pemberhentian diatur dalam Pasal 7B Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan terdapat ketidaksempurnaan didalamnya. Batas waktu tidak diberikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat ketika mendapatkan hasil dari Mahkamah Konstitusi. Sebetulnya Dewan Perwakilan Rakyat hanya mengadakan sidang paripurna kemudian melanjutkan ke Majelis Permusyawaratan Rakyat (usul). Mahkamah Konstitusi memberi jawaban pelanggaran hukum dan terbukti tidak lagi memenuhi syarat kepada Presiden dan/atau Wakil Presiden. Ketika tidak ada batasan waktu di Dewan Perwakilan Rakyat, maka hasil pemeriksaan tidak berguna dan cenderung diasumsikan putusan politik. Muncul putusan politik karena proses bisa diatur sedemikian rupa oleh Dewan Perwakilan Rakyat yaitu segera atau tidak melakukan sidang paripurna. Masalah dalam Disertasi ini adalah bagaimana lama batas waktu penyelenggaraan sidang paripurna yang dilakukan Dewan Perwakilan Rakyat untuk meneruskan usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden? Disertasi ini merupakan penelitian hukum normatif dengan menggunakan pendekatan filsafat, perundang-undangan, konseptual dan sejarah. Bahan hukum tersebut dianalisis dengan teknik penalaran hukum yuridis kualitatif karena penelitian ini bertitik tolak dari peraturan-peraturan yang ada sebagai norma hukum positif terhadap masalah yang berkaitan dengan norma pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Hasil penelitian yaitu lama batas waktu ideal penyelenggaraan sidang paripurna secara teoritis dan filosofis yang dilakukan Dewan Perwakilan Rakyat adalah 30 (tiga puluh) hari biasa. Pencantuman 30 (tiga puluh) hari biasa dikarenakan pada saat hari proses pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden ini sangatlah penting. Hasil Putusan MK yang menyatakan bahwa pendapat DPR terbukti bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden melakukan pelanggaran akan berpeluang menimbulkan tingkat sensitivitas dari seluruh masyarakat kepada Presiden sebagai Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan. Tingkat sensitivitas ini dapat berupa bentuk pemerintahan yang okhlorasi dan memiliki dampak akan keadaan pertahanan dan keamanan di Indonesia ketika Putusan MK diketahui secara publik. Oleh karena itu lama batas waktu 30 (tiga puluh) hari itu adalah hal yang paling rasional dalam keadaan negara darurat walaupun terdapat ketentuan Pasal 1 ayat (3) UUD NRI 1945 namun Indonesia masih menganut asas ius fiction par excelence.
English Abstract
The dismissal process is regulated in Article 7B of the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia and there are imperfections in it. The time limit is not given to the House of Representatives when obtaining the results from the Constitutional Court. Actually the People's Representative Council only held a plenary session then proceeded to the People's Consultative Assembly (proposal). The Constitutional Court gives answers to the President and/or Vice President for violating the law and it is proven that they are no longer eligible. When there is no time limit at the House of Representatives, the results of the examination are useless and tend to assume a political decision. Political decisions emerge because the process can be regulated in such a way by the House of Representatives, namely immediately or not to hold a plenary session. The problem in this dissertation is how long the deadline for holding a plenary session by the House of Representatives to continue the proposal to dismiss the President and/or Vice President? This dissertation is a normative legal research using philosophical, statutory, conceptual and historical approaches. The legal material is analyzed using qualitative juridical legal reasoning techniques because this research has a starting point from existing regulations as positive legal norms on issues related to the norms of dismissing the President and/or Vice President in the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia. The result of the research is that the ideal length of time for holding a plenary session theoretically and philosophically by the House of Representatives is 30 (thirty) normal days. The inclusion of 30 (thirty) regular days because on the day of the process of dismissing the President and / or Vice President is very important. The results of the Constitutional Court decision stating that the DPR's opinion is proven that the President and / or the Vice President committed a violation will have the opportunity to create a level of sensitivity from the entire community to the President as the Head of State and Head of Government. This level of sensitivity can be in the form of an occasional form of government and has an impact on the state of defense and security in Indonesia when the Constitutional Court Decision is made public. Therefore, the 30 (thirty) day time limit is the most rational thing in a state of emergency, even though there are provisions in Article 1 paragraph (3) of the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia, but Indonesia still adheres to the principle of ius fiction par excellence.
Item Type: | Thesis (Doktor) |
---|---|
Identification Number: | 0621010001 |
Uncontrolled Keywords: | - |
Subjects: | 300 Social sciences > 340 Law |
Divisions: | Fakultas Hukum > Ilmu Hukum |
Depositing User: | Zainul Mustofa |
Date Deposited: | 04 Oct 2022 02:17 |
Last Modified: | 24 Sep 2024 06:27 |
URI: | http://repository.ub.ac.id/id/eprint/195299 |
Text
Tomy Michael.pdf Download (2MB) |
Actions (login required)
View Item |