Penetapan Harta Bersama Dalam Permohonan Izin Poligami Yang Menjamin Perlindungan Hukum Bagi Istri.

Puspytasari, Heppy Hyma (2019) Penetapan Harta Bersama Dalam Permohonan Izin Poligami Yang Menjamin Perlindungan Hukum Bagi Istri. Doktor thesis, Universitas Brawijaya.

Abstract

Poligami sudah ada sejak jaman dahulu, secara bahasa, poligami adalah sistem perkawinan yang salah satu pihak memiliki lawan jenisnya dalam waktu yang bersamaan. Poligami sudah ada jauh sebelum agama Islam diturunkan. Keberadaan Islam merubah kebiasaan poligami tanpa batas dan tidak berperikemanusiaan menjadi poligami yang lebih mulia, karena dalam Islam poligami diberikan aturan yang dapat menjamin kemaslahatan. Di Indonesia poligami juga masuk dalam aturan perundang-undangan baik pada Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan maupun dalam Kompilasi Hukum Islam. Salah satu hal yang dapat mendukung tercapainya kemaslahatan dalam perkawinan poligami adalah harta bersama. Penelitian ini menyajikan beberapa problematika, yaitu problematika yuridis, teoritis dan filosofis, dimana UU no. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 35 ayat (1) menyebutkan: Harta bersama adalah harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama. Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 94 yang juga mengemukakan bahwa harta bersama dalam perkawinan poligami adalah terpisah dan berdiri sendiri tidak bercampur antara isteri. Namun ada pendapat yang menyatakan ketentuan pasal 94 tersebut tidak adil bagi isteri pertama karena mendapatkan bagian paling sedikit diantara isteri yang lain, padahal isteri pertama lebih lama menemani suami, dan masih terus menemani dalam perkawinan selanjutnya yaitu bersama dengan madunya. Tentu saja dianggap tidak adil karena isteri pertamalah yang dianggap paling menderita secara batin karena poligami tersebut, karena bagaimanapun tidak ada wanita yang sebenarnya rela dimadu. Buku pedoman teknis administrasi dan Teknis Peradilan Agama diberlakukan di lingkungan Peradilan Agama berdasarkan keputusan ketua Mahkamah Agung RI Nomor : KMA/032/SK/IV/2006 tentang pemberlakuan “Buku II Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Peradilan Agama”, Buku II tersebut telah melalui beberapa revisi, yang pertama di tahun 2006, 2010 dan terakhir 2013 ini uncompletely Norm atau norma yang tidak lengkap, karena mulai dari UU Perkawinan sampai dengan Kompilasi Hukum Islam tidak dijelaskan ketentuan tentang penetapan harta bersama dalam perkawinan poligami, hanya mengatur tentang diperbolehkannya poligami dan syarat berpoligami, dan kekaburan norma karena keberadaan KMA/032/SK/IV/2006 tentang pemberlakuan Buku II tersebut diatas berupa Keputusan Mahkamah Agung yang kekuatan mengikatnya rendah, sehingga tidak berkepastian hukum dan tidak dapat memberi perlindungan pada istri. Permasalahan dalam penelitian ini meliputi : (1) apa urgensi penetapan harta bersama dalam permohonan izin poligami yang memberikan perlindungan hukum bagi istri dan (2) bagaimana substansi penetapan harta bersama dalam permohonan izin poligami yang memberikan perlindungan hukum bagi istri. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif atau doktrinal dengan menggunakan pendekatan masalah berupa pendekatan filsafat, perundangundangan, konseptual dan pendekatan kasus. Jenis bahan hukum yang digunakan yaitu berupa bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. Teknik pengumpulan bahan hukum dilakukan melalui studi kepustakaan dan studi konsumen. Selanjutnya metode penyajian bahan hukum dan analisisnya disajikan secara kualitatif, diuraikan secara sistematis dan analisis secara yuridis kualitatif. Penelitian ini menggunakan beberapa teori sebagai pisau analisis terhadap isu hukum yang disajikan, teori hukum yang digunakan untuk menjawab isu hukum yang peratama adalah teroi keadilan, teori kepastian hukum, teori maqoshid syariah dan teori perlindungan hukum. Selanjutnya teori yang digunakan untuk menjawab isu hukum kedua adalah teori keadilan, teori perlindungan hukum dan teori penemuan hukum. Kesimpulan dan temuan yang diperoleh dari penelitian ini : pertama, urgensi penetapan harta bersama dalam permohonan izin poligami yang menjamin perlindungan hukum bagi istri adalah bahwa Pembagian harta bersama sampai dengan hari ini tidak terkelola dengan baik dan benar karena semua tunduk pada kekuasaan suami. Sementara Undang-Undang belum mengatur secara rinci dan jelas mengenai harta bersama terutama dalam perkawinan poligami, maka kedepan kita membutuhkan Undang-Undang yang mengatur tentang harta bersama dalam perkawinan poligami agar memberikan kepastian hukum dan keadilan dalam pembagian harta poligami, kemudian apabila pembagian harta tidak dijelaskan secara rinci akan menimbulkan konflik antar istri. Kedua, substansi penetapan harta bersama dalam permohonan izin poligami yang memberikan perlindungan hukum bagi istri adalah antaranya harus disesuaikan dengan ketentuan harta bersama sebagai hasil kerja suami bukan hasil kerja istri, kemudian Pasal 94 KHI harus dipahami bahwa harta yang diperoleh oleh suami dalam perkawinan pertama adalah harta bersama suami dan istri pertama, sedangkan harta yang diperoleh suami selama masa perkawinan suami dengan istri kedua adalah harta bersama antara suami, istri pertama dan istri kedua karena saat itu istri pertama masih terikat perkawinan dengan suami dan KMA/032/SK/IV/2006 tentang pemberlakuan Buku II, Pedomana Pelaksanaan Tugas Administrasi Peradilan Agama, walaupun kedudukannya tidak kuat karena bukan sumber hukum sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No.12 tahun 2011 tentang sumber hukum dan tata urutan peraturan perundang-undangan, namun sering dipakai sebagai rujukan. Hal ini kurang memberikan perlindungan hukum terhadap istri karena kurang menjamin kepastian hukumnya, sehingga ada kalanya penetapan izin poligami tidak disertai dengan ketentuan Buku II tersebut.

English Abstract

Polygyny (more commonly understood as polygamy in Indonesia) has existed long before Islam was revealed. This term is defined as a marital system to have more than one wife at the same time. The existence of Islam has changed the definition of polygyny, previously deemed as a practice that knew no boundaries and was inhumane, into a more noble practice because Islam regulates polygyny to guarantee the merits of parties concerned. In Indonesia, Polygyny is also governed in Act Number 1 of 1974 concerning Marriage and in Islamic Law Compilation. Shared assets are a factor that could help achieve merit in polygyny. This research presents several problems: juridical, theoretical, and philosophical problems, in which Act Number 1 of 1974 concerning Marriage Article 35 Paragraph (1) states: shared assets are defined as those obtained when spouses are still bound in a marriage. Islamic Law Compilation Article 94 states that shared assets in polygyny are defined as separated assets and independent between two wives. However, there is counterargument suggesting that Article 94 implies unfairness for the first wife since she may receive smaller amount of asset than that received by the other wife, bellied by the fact that the first wife has lived together with her husband longer and still has to keep being his wife along with the existence of a new wife. This unfairness is also seen from the situation where the first wife may be more depressed by the practice of polygyny since practically no woman is willing to be eclipsed by the second wife. Book of Administrative and Religious Court Procedural Guidelines apply in Religious Court according to Decision by Indonesian Supreme Court Number KMA/032/SK/1V/2006 concerning Application of “Book II of Task Performance Guidelines and Religious Court Administration”. Book II has been revised several times; the first revision was in 2006, the second in 2010, and the last revision took place in 2013 as incomplete norm since Act concerning Marriage and Islamic Law Compilation do not detail the provisions concerning arrangement of shared assets in polygyny. The existing laws only regulate consent for polygyny and its requirements. Moreover, since the Supreme Court Decision KMA/032/SK/IV/2006 concerning Application of Book II is weakly binding, it is then deemed to hold no legal certainty and to fail to provide protection for wives. The research problems presented involve: (1) what is the urgency in the arrangement of shared assets in relation to the consent for polygyny that provides legal protection for wives and (2) how is the substance of the arrangement of shared assets in regards to the consent for polygyny that provides legal protection for wives? Doctrinal and normative methods were employed, supported by philosophical, statute, conceptual, and case approaches. The legal materials used comprised primary, secondary, and tertiary data, all of which were obtained from library research and studies on consumers. All the data observed was analysed by means of qualitative methods, followed by systematic description and qualitative-juridical-based analysis. This research also employed several theories to analyse legal issues presented in the research: justice, legal certainty, maqoshid sharia, and legal protection theories. However, the theories used to answer the second research problem were the theories of justice, legal protection, and legal findings. The research result finds that (1) in terms of the urgency in arrangement of shared assets in relation to consent for polygyny that provides legal protection for wives, shared asset division has not been appropriately managed since wives always comply with husbands. Moreover, no laws specifically regulate shared assets in polygyny, and this indicates that a law governing this case must be taken into account in the future to give legal certainty and justice in the case of shared assets in polygyny. Unclear asset division will spark conflict between wives. (2) In terms of the substance regarding the arrangement of shared assets related to the consent for polygyny that provides legal protection for wives, the provisions regarding the shared assets should be based on the income earned by the husband, not the wives. Article 94 of Islamic Law Compilation should be understood that assets earned by a husband in his first marriage is considered shared assets between a husband and his wife, while the assets earned by the husband during his second marriage with his second wife is shared with his first wife and second wife since his first wife is still bound to the marriage. Despite the situation that KMA/032/SK/IX/2006 concerning Application of Book II, Task Performance Guidelines and Religious Court Administration is only weakly binding since this is not a source of law as regulated in Act Number 12 of 2011 concerning source of law and hierarchy of laws, this Decision is still referred. This decision is weak in providing legal protection for wives since it cannot guarantee legal certainty. Therefore, sometimes consent for polygyny is not supported by the provisions in Book II.

Other obstract

-

Item Type: Thesis (Doktor)
Identification Number: DIS/346.016/PUS/p/2019/061911240
Uncontrolled Keywords: legal protection, polygyny, shared assets,-perlindungan hukum, poligami, harta bersama.
Subjects: 300 Social sciences > 346 Private law > 346.01 Persons and domestic relations > 346.016 Marriage, partnerships, unions
Divisions: S2/S3 > Doktor Ilmu Hukum, Fakultas Hukum
Depositing User: Endang Susworini
Date Deposited: 25 May 2022 06:48
Last Modified: 25 May 2022 06:48
URI: http://repository.ub.ac.id/id/eprint/190752
[thumbnail of HEPPY HYMA PUSPYTASARI (2).pdf] Text
HEPPY HYMA PUSPYTASARI (2).pdf

Download (3MB)

Actions (login required)

View Item View Item