Disparitas Putusan Hakim Tentang Pembelaan Terpaksa Pada Tindak Pidana Penganiayaan (Studi Putusan Nomor 61/Pid.B/2014/PN.MTP dan Putusan Nomor 15/Pid.B/2016/PN.MII),

Fauzyanti, Arafah Setya and Dr. Setiawan Noerdajasakti,, S.H., M.H and Fines Fatimah,, S.H., M.H (2021) Disparitas Putusan Hakim Tentang Pembelaan Terpaksa Pada Tindak Pidana Penganiayaan (Studi Putusan Nomor 61/Pid.B/2014/PN.MTP dan Putusan Nomor 15/Pid.B/2016/PN.MII),. Sarjana thesis, Universitas Brawijaya.

Abstract

Pada penelitian ini penulis mengangkat permasalahan terkait disparitas putusan hakim yang sama-sama menjadikan pembelaan terpaksa sebagai pertimbangan hukumnya. Isu ini dipilih oleh penulis karena selama ini, dalam kasus tindak pidana penganiayaan khususnya, penerapan prinsip pembelaan terpaksa seringkali tidak sesuai dengan teori pada hakikatnya. Selain itu, pembelaan terpaksa juga sangat dipengaruhi oleh konstruksi kasus yang sedang berjalan, bagaimana alat bukti dihadirkan, dan seperti apa hakim memberikan pertimbangan hukum. Konsep pembelaan terpaksa pada hakikatnya adalah sebuah tindakan yang dapat dilakukan oleh korban tindak pidana jika berada dibawah ancaman dan guncangan jiwa yang membuatnya tidak dapat mengelak dari tindakan pelaku. Namun, pembelaan terpaksa harus memenuhi banyak syarat sehingga dapat dianggap sebagai alasan pemaaf. Berdasarkan latar belakang tersebut dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut: Bagaimana pandangan hakim dalam mengartikan Noodweer-excess dalam Pasal 49 KUHP pada Putusan nomor 61/Pid.B/2014/PN.MTP dan putusan nomor 15/Pid.B/2016/PN.MII? Penelitian ini merupakan jenis penelitian yuridis normatif yang menggunakan pendekatan yuridis normatif yang dalam pelaksanaannya dilakukan dengan studi kasus berdasarkan putusan yang dijadikan sebagai objek penelitian. Jenis data primer dan data sekunder akan dikumpulkan dengan metode studi kepustakaan. Hasil penelitian ini adalah bahwa dalam dua putusan yang berbeda, hakim memberikan pertimbangan hukum yang berbeda pada konsep pembelaan terpaksa. Konstruksi kasus yang terbangun sangat minim alat bukti, sehingga hakim juga cukup kesulitan dalam memberikan pertimbangan hukum yang komprehensif. Namun, dengan tanpa adanya alat bukti yang maksimal, dalam kedua putusan yang diteliti oleh penulis, nyata bahwa hakim juga tidak melakukan penelusuran terkait dengan makna hakikat daripada pembelaan terpaksa. Hakim hanya menjadikan beberapa referensi umum untuk dijadikan dasar bahwa tindakan saksi korban adalah sebuah tindak pidana atau bukan tindak pidana (pembelaan terpaksa). Penulis memberikan saran untuk dilakukan reformasi dalam bidang hukum pidana secara umum, dan pada bagian pembelaan terpaksa (kajian penulis) secara khusus Kompetensi dan kapasitas hakim dalam hal memberikan pertimbangan hukum harus lebih fokus pada perwujudan tujuan hukum. Proses peradilan tidak dapat hanya memandang kapasitas kasus semata, tetapi menjadikan tujuan hukum sebagai orientasi adalah wajib

English Abstract

In this study, the authors raised issues related to disparity in judges' decisions which both made forced defense a legal consideration. This issue was chosen by the author because so far, in cases of criminal acts of persecution in particular, the application of the principle of forced defense is often not in accordance with the theory in essence. In addition, forced defense is also heavily influenced by the construction of the case that is currently underway, how evidence is presented, and what kind of judges provide legal considerations. The concept of forced defense is essentially an action that can be carried out by a victim of a criminal act if under threat and shock of life that makes him unable to avoid the perpetrator's actions. However, a forced defense must meet many conditions so that it can be seen as an excuse for forgiveness. Based on this background, the following problems can be formulated: How is the judge's view in interpreting Noodweer-excess in Article 49 of the Criminal Code in Decision number 61 / Pid.B / 2014 / PN.MTP and decision number 15 / Pid.B / 2016 / PN.MII? This research is a type of juridical normative research that uses a normative juridical approach which in its implementation is carried out with a case study based on the decision which is used as the object of research. The types of primary data and secondary data will be collected using the literature study method.ix The result of this research is that in two different decisions, the judge gave different legal considerations to the concept of forced defense. The construction of cases that are built is very minimal in evidence, so that judges also have difficulty providing comprehensive legal considerations. However, in the absence of maximum evidence, in the two decisions examined by the author, it is evident that the judges also did not carry out investigations related to the true meaning rather than forced defense. The judge only made a few general references to serve as the basis that the victim's witness's action was a criminal act or not a criminal act (forced defense). The author provides suggestions for reforms in the field of criminal law in general, and in the part of forced defense (author's study) in particular. The competence and capacity of judges in providing legal considerations should focus more on the realization of legal objectives. The judicial process can not only look at the capacity of the case alone, but make the purpose of law as an orientation is mandatory

Item Type: Thesis (Sarjana)
Identification Number: 0521010108
Subjects: 300 Social sciences > 340 Law
Divisions: Fakultas Hukum > Ilmu Hukum
Depositing User: soegeng sugeng
Date Deposited: 25 Jan 2022 06:23
Last Modified: 01 Mar 2022 02:15
URI: http://repository.ub.ac.id/id/eprint/188825
[thumbnail of DALAM MASA EMBARGO] Text (DALAM MASA EMBARGO)
165010100111026 -Arafah Setya Fauzyanti(2).pdf
Restricted to Registered users only until 31 December 2023.

Download (1MB)

Actions (login required)

View Item View Item