Strategi Daya Saing Ayam Pedaging Menembus Pasar Bebas Asean

Naviah, Siti (2020) Strategi Daya Saing Ayam Pedaging Menembus Pasar Bebas Asean. Doctor thesis, Universitas Brawijaya.

Abstract

Pada era perdagangan bebas di kawasan ASEAN diperlukan peningkatan daya saing guna menangkap peluang bersaing di kawasan pasar ASEAN maupun luar yang juga akan memanfaatkan keterbukaan pasar tersebut. Industri perunggasan sebagai pemasok protein hewani Indonesia menggerakkan sekitar 21 juta dollar US per tahun {(86% industri perunggasan, sapi (8%), babi (5%) lainya (1%)} kondisi ini disebabkan harga daging broiler lebih terjangkau dibandingkan dagin sapi, sektor ini didominasi indistri besar dengan struktur usaha lebih efisien dan terintegrasi secara vertikal. Konsumsi nasional daging ayam tahun 2016 sebesar 1.345.706 ton sedangkan produksi 1.592.669 ton sehingga kebutuhan tersebut dapat dipenuhi dari industri perunggasan dalam negeri (Kementan, 2016). Pada tahun 2018 produksi daging ayam ras (karkas) berdasarkan realisasi produksi DOC (Januari-Juni 2018) dan potensi (Juli-Desember 2018) sebanyak 3.382.311 ton dengan rataan perbulan sebanyak 27.586 ton, sedangkan kebutuhan karkas sebanyak 3.051.276 ton, sehingga kondisi daging ayam nasional mengalami kelebihan produksi sebanyak 331.035 ton (Kementan 2018). Volume ekspor produk ayam karkas beku per Oktober 2019 sebesar 144,9 ton dengan nilai ekspor US$ 249.348 terdiri dari paha ayam ras pedaging sebesar 25 ton dengan nilai US$ 85.825, produk olahan sebesar 39 ton dengan nilai US$ 132.451 terjadi peningkatan 723% dari periode tahun 2017 dengan volume 17,6 ton, adapun tujuan negara ekspor tersebut adalah Timor leste (karkas beku), Jepang dan Papua nugini (produk olahan) serta paha ayam ke Afrika barat (BPS, 2019). Capaian ekspor ini menunjukkan industri ayam ras pedaging memiliki kemampuan daya saing yang memadai untuk memenuhi kebutuhan pasar domestik dan ekspor karena peternakan ayam ras telah berkembang menjadi suatu industri terintegrasi secara vertikal, dinamis dengan dukungan perusahaan multinasional, khususnya di segmen hulu (industri pakan dan DOC), yang bertindak sebagai motor penggerak rantai pasok (Saptana, 2016). Sedangkan Thailand sudah mengekspor daging ayam mentah (uncooked) ke Jepang sejak akhir tahun 2013 (Preechajan, 2014). Tujuan Penelitian adalah (1) menganalisis keunggulan kompetitif dan komparatif produksi ayam pedaging setelah diberlakukanya pasar bebas ASEAN (2) menganalisis penggunaan faktor produksi yang efisien, dampak kebijakan pemerintah serta distorsi pasar pada waktu diberlakukanya pasar bebas ASEAN (3) menganalisis strategi/posisi (daya saing) produksi ayam pedaging dengan diberlakukanya pasar bebas ASEAN. Lokasi penelitian ditentukan secara purposive di kabupaten Lamongan sebagai lokasi penelitian dengan dasar pertimbangan kabupaten Lamongan memiliki prospek jumlah populasi ternak unggas terbesar di Jawa Timur dengan populasi tahun 2011-2015 mencapai 44.915.845 ekor (24,976 %) dari 179.830.682 ekor populasi Jawa Timur, sehingga populasi ayam pedaging kabupaten Lamongan sekitar 40% dari populasi di Jawa Timur. Sampel penelitian terdiri dari peternak plasma sebanyak xi 226 peternak (43%) dari 515 peternak plasma dengan skala usaha dibawah 5000 ekor (kecil) sebanyak 200 peternak (88,49%), sedangkan diatas 5000 ekor (besar) sebanyak 26 peternak (11,50%), 12 perusahaan mitra inti, dan 2 pedagang pemotong yang memiliki RPA. Penelitian ini menggunakan Policy Analysis Matrix (PAM), faktor variabel penerimaan, biaya input tradabel, biaya faktor domestik, dan keuntungan dihitung berdasarkan harga privat (pasar) untuk analisis finansial dan harga sosial untuk analisis ekonomi. Sedangkan variabel faktor Input tradabel dan domestik dibedakan berdasarkan komponen domestic dan asing. Analisis efisiensi finansial menggunakan indikator profitabilitas pada harga pasar, sedangkan analisis efisiensi ekonomi menggunakan profitabilitas pada harga sosial. Tingkat keunggulan kompetitif ditunjukkan oleh indikator Private Cost Ratio (PCR) dan keunggulan komparatif oleh Domestic Resource Cost Ratio (DRCR). Pengaruh adanya distorsi kebijakan dan kegagalan pasar berdasarkan indikator Transfer output (OT), Transfer input (IT), Transfer faktor (FT), Net policy transfer (NT), Koefisien proteksi output nominal (NPCO), Koefisien proteksi input nominal (NPCI), Koefisien proteksi efektif (EPC), Koefisien keuntungan (PC), dan Rasio Subsidi Produsen (SRP). Hasil perhitungan menunjukkan bahwa keuntungan privat peternak pada kedua skala usaha lebih rendah daripada penerimaan sosialnya. Hal ini disebabkan peternak memperoleh harga privat karkas Rp 29.159/kg, lebih murah daripada harga sosial karkas Rp 30.651/kg. Selisih penerimaan dan biaya memberikan keuntungan privat sebesar Rp 30.710.502 (Rp 2.179/kg) untuk skala ≤ 5000 ekor dan Rp 100.815.67 (Rp 2.342/kg) untuk skala > 5000 ekor, lebih rendah daripada keuntungan sosialnya masing-masing sebesar Rp 41.453.244 (Rp 2.637 /kg) dan Rp 131.995.53 (Rp 2.647/kg). Berdasarkan faktor ekonomis ternyata keuntungan pada skala usaha ≤ 5000 ekor memperoleh keuntungan yang lebih rendah daripada skala > 5000 ekor, hal ini disebabkan harga input pakan dan OVD pada skala ≤ 5000 lebih rendah dari skala >5000 perbedaan ini berdasarkan harga kontrak input dari pabrik, sedangkan penentuan harga output tergantung pada tingkat efisiensi teknis pada proses produksi yang dilakukan peternak. Faktor teknis tersebut diketahui dari peternak skala > 5000 ekor menghasilkan nilai konversi pakan (FCR), bobot badan (BW), kecuali mortalitas ayam yang lebih baik daripada skala usaha ≤ 5000 ekor, dengan rincian nilai konversi pakan, bobot badan serta tingkat kematian ayam peternak skala usaha > 5000 ekor masing-masing sebesar 1,474, 2,08 kg, dan 4.67 persen, sedangkan pada skala usaha ≤ 5000 ekor masing-masing sebesar 1,583, 2,05 kg, dan 4,17 persen. Berdasarkan perhitungan nilai PCR (Private Cost Ratio) menunjukkan bahwa peternakan ayam pedaging di Kabupaten Lamongan memiliki keunggulan kompetitif yang ditunjukkan oleh nilai PCR sebesar 0,93 untuk peternak skala usaha ≤ 5000 ekor dan 0,89 skala usaha > 5000 ekor. Hal ini berarti bahwa untuk mendapatkan nilai tambah satu satuan devisa (1 US$) diperlukan 0,93 US$ (Rp 12.393,18) dan 0,89 US$ (Rp 11.860,14) biaya sumberdaya domestik, masing-masing untuk peternak skala usaha ≤ 5000 ekor dan skala usaha > 5000 ekor. Kondisi ini menunjukkan bahwa usaha tersebut efisien secara finansial karena mampu membiayai faktor domestiknya pada harga privat. Keunggulan Komparatif ditunjukkan oleh nilai DRCR (Domestic Resource Cost Ratio) sebesar 0,88 untuk peternak skala usaha ≤ 5000 ekor dan 0,82 skala usaha > 5000 ekor. Nilai ini mempunyai arti bahwa guna menghemat xii satu satuan devisa (1 US$) diperlukan 0,88 dolar (Rp 11.726,88) dan 0,82 US$ (Rp 10.927,32) biaya faktor domestik, masing-masing untuk peternak skala usaha ≤ 5000 ekor dan skala usaha > 5000 ekor, artinya usaha peternakan ayam pedaging tersebut efisien secara ekonomi dalam pemanfaatan sumber daya domestik, adanya permintaan domestik lebih menguntungkan dengan peningkatan produksi domestik. Berdasarkan data tersebut dapat dikatakan bahwa jika daging ayam diproduksi di dalam negeri akan dapat menghemat devisa negara 12-18 persen dari biaya impor yang harus dikeluarkan. Berdasarkan analisis sensitivitas karena adanya perubahan harga DOC sesuai dengan revisi Permentan Nomor 61/Permentan/PK.230/12/2016 dengan ketentuan harga DOC sebesar Rp.4800,- dan harga ayam Rp.18.000,-, sedangkan faktor lain dianggap tetap dan adanya distorsi kebijakan (tarif impor bahan pakan, dihilangkan). Pada penelitian ini sensitivitas perubahan harga DOC Rp 5.483,00/ekor menjadi Rp.4.800,-/ekor sesuai ketentuan harga revisi Permentan atau turun 12%, sedangkan harga ayam Rp.15.200,-/ekor menjadi Rp.18.000,-/ekor atau naik 15% sementara faktor lainnya tetap, akan meningkatkan efisiensi finansial dan daya saing kemitraan ayam pedaging. Pada kondisi harga DOC sesuai ketentuan Permentan, keuntungan privat meningkat Rp 4.366.370,00 (14%) atau Rp 2.179,00/kg pada skala ≤ 5000 ekor dan Rp 3.798.136,00 (64%) atau Rp 2.632,00/kg pada skala > 5000 ekor. Hal ini berarti terdapat efisiensi pemasaran DOC, baik karena distorsi kebijakan maupun kegagalan pasar, menyebabkan biaya produksi ayam pedaging pada kedua skala usaha akan meningkat. Transfer input pada kedua skala usaha adalah positif, hal ini berarti produksi kemitraan ayam pedaging di kabupaten Lamongan mendapatkan subsidi sebesar nilai transfer input, dimana transfer tersebut didapatkan selain dari harga OVD juga dari gas dan listrik. Sedangkan berdasarkan hasil analisis nilai NPCI diperoleh nilai 1,01 hal ini berarti harga input tradabel pada harga domestik sama dengan harga sosialnya. Transfer bersih pada kedua skala usaha menurun dari Rp -10.642.742 dan Rp - 31.179.865 menjadi Rp -6.742.409 dan Rp -31.835.923. Penurunan transfer bersih sebesar Rp 3.918.333 (37%) dan Rp 6.560.58 (2%) mengakibatkan nilai PC (Profitabilitas Coefficient ) meningkat dari 0,74 menjadi 0,84 dan dari 0,76 menjadi 0,84, kondisi ini menunjukkan bahwa harga DOC sesuai ketentuan Permentan dapat meningkatkan keuntungan privat menjadi 14 persen dan 4 persen terhadap keuntungan sosialnya. Nilai EPC (Effective Protection Coeffisient) pada kedua skala usaha meningkat dari 0,86 menjadi 1,07, hal ini menunjukkan nilai tambah output pada harga privat meningkat dari 86 persen menjadi 100 persen dari nilai tambah pada harga sosial. Nilai SRP terjadi penurunan dari -0,04 dan -0,08, berarti bahwa keuntungan yang diterima peternak berkurang 4 persen dan 8 persen dari penerimaan ekonominya. Hal tersebut disimpulkan bahwa harga DOC sesuai ketentuan permentan mengakibatkan biaya produksi rendah hal ini dapat meningkatkan daya saing dan efisiensi. Sedangkan untuk mengetahui keunggulan kompetitif dapat diketahui berdasarkan nilai PCR, dimana berdasarkan harga DOC yang efisien dapat meningkatkan keunggulan kompetitif hal ini dapat diketahui dari nilai PCR yang menurun pada kedua skala usaha,yaitu 0,88 menjadi 0,78 pada skala usaha ≤ 5000 ekor dan 0,84 menjadi 0,78 dan pada skala > 5000 ekor. Kondisi ini menunjukkan besarnya biaya faktor domestik yang diperlukan untuk mendapatkan nilai tambah satu satuan devisa (1 US$) pada kedua skala usaha menurun masing-masing 0,10 US$ (Rp 2.179,00) dan 0,06 US$ (Rp 2.632,00). xiii Berdasarkan pendekatan faktor lingkungan hal ini dikelompokkan dalam kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman, berdasarkan kajian deskriptif kualitatif, tidak digunakan pendekatan rating (skor) dan bobot memuat matriks Internal Factor Evaluation (IFE) dan matriks External Factor Evaluation (EFE), karena data dan informasi yang digunakan bersumber dari kuesioner terbuka dan responden terbatas, mengenai kondisi dengan diberlakukanya pasar bebas ASEAN. Hasil analisis menunjukkan bahwa adanya peluang dan ancaman eksternal dapat disesuaikan dengan kekuatan dan kelemahan yang terdapat pada agribisnis ayam ras pedaging, sehingga didapatkan strategi yang mampu meningkatkan kekuatan dan peluang serta mengurangi kelemahan dan ancaman yang terjadi, karena itulah dengan membandingkan faktor internal dan eksternal dapat menggambarkan posisi agribisnis ternak ayam ras pedaging guna menghadapi peluang dan ancaman dimana berdasarkan kondisi dan situasi yang ada, posisi yang paling memungkinkan adalah terdapat pada kuadran tiga (3) yaitu mendukung strategi turn-arround dimana kuadran ini menjelaskan posisi yang ada menghadapi peluang pasar yang besar, tetapi perusahaan juga menghadapi berbagai kelemahan atau kendala internal, karena itulah strategi yang digunakan adalah meminimalkan masalah-masalah internal, sehingga mampu merebut peluang pasar yang lebih baik. Penelitian menyimpulkan bahwa: 1. Hasil analisis menunjukkan bahwa agribisnis ayam pedaging memiliki keunggulan kompetitif dengan indikator nilai Private Cost Ratio (PCR) < dari l pada semua skala produksi, hal ini berarti kegiatan tersebut mempunyai kemampuan untuk membayar biaya sumberdaya domestik dan tetap kompetitif pada harga privat. Sedangkan indikator DRCR (Domestic Resource Cost Ratio) pada kedua skala produksi < l, hal ini berarti dapat menghemat biaya sumberdaya domestik untuk dapat menghasilkan satu unit devisa. 2. Hasil analisis menunjukkan agribisnis tersebut mempunyai nilai efisiensi dengan nilai keuntungan privatnya positif, hal ini berarti agribisnis peternakan tersebut mampu bersaing pada tingkat harga aktual, adanya kebijakan pada produsen berpengaruh terhadap daya saing (competitiveness) produk dimana hal ini diketahui berdasarkan nilai keuntungan privat dari harga privat pada sistem komoditas berdasarkan teknologi, nilai output, biaya input serta transfer kebijakan. Sedangkan hasil analisis keuntungan sosial yang dihitung bardasarkan penerimaan dan biaya berdasarkan harga sosial (harga efisiensi) menunjukkan nilai positif (mempunyai keunggulan komparatif (comparative advantage) dan mampu bersaing pada ditingkat harga internasional. Hasil analisis parameter Transfer Output (OT) positif, pada skala produksi (>5000) hal ini berarti terdapat subsidi terhadap agribisnis atau konsumen memberikan insentif terhadap produsen dan pedagang dengan harga yang lebih mahal dari harga semestinya, sedangkan pada skala produksi (<5000) nilai Transfer Output (OT) negatif hal ini berarti konsumen membeli dari produsen dan mendapat harga yang lebih rendah dari harga sebenarnya atau ada transfer sumber daya yang mengurangi keuntungan sistem agribisnis. Sedangkan harga output di pasar domestik lebih tinggi dari harga impor (atau ekspor) atau terdapat adanya suatu proteksi kebijakan karena nilai NPCO (Nominal Protection Coefficient on Output) 1.01 (>1). Adanya revisi Permentan Nomor 61/Permentan/PK.230/12/2016 menunjukan adanya efisiensi xiv pemasaran DOC, baik karena distorsi kebijakan maupun kegagalan pasar, menyebabkan biaya produksi ayam pedaging pada kedua skala usaha akan meningkat, harga DOC sesuai ketentuan permentan mengakibatkan biaya produksi rendah hal ini dapat meningkatkan daya saing dan efisiensi. 3. Berdasarkan kondisi dan situasi yang ada, maka strategi dan posisi yang paling memungkinkan adalah terdapat pada kuadran tiga (3) yaitu mendukung strategi turn-arround dimana posisi yang ada menghadapi peluang pasar yang besar, tetapi perusahaan juga menghadapi berbagai kelemahan atau kendala internal, karena itulah strategi yang digunakan adalah meminimalkan masalah-masalah internal, sehingga mampu merebut peluang pasar yang lebih baik. Beberapa saran yang dapat direkomendasikan adalah perlu adanya kebijakan dan strategi guna peningkatan daya saing dan efisiensi penggunaan faktor produksi diantaranya sebagai berikut : 1. Perlu dibentuk model kerangka pembangunan peternakan ayam utamanya dalam memasuki pasar bebas ASEAN, dimana terbentuk kebersamaan dan peluang saling menguntungkan antar sub sektor, kondisi ini dihadapi agribisnis ayam ras dalam negeri dan merupakan kendala dasar dan menghambat daya saing. Misalnya kelebihan pasokan DOC, ketergantungan impor bibit GPS (Grand Parent Stock), ketidak pastian Pemerintah dalam hal nilai tukar Rupiah serta bahan baku pangan (jagung) serta obat obatan. 2. Dalam rangka menciptakan efisiensi agribisnis ayam nasional diperlukan koordinasi stakeholder, peran Pemerintah sebagai pusat pengendali agar terjadi keseimbangan antara pengusaha besar dengan peternak rakyat dalam hal proteksi terhadap kelangsungan agribisnis ayam nasional, dukungan promosi disemua skala peternak guna meningkatkan daya saing, dibentuk model pengelolaan berkelompok dan terintegrasi dengan pabrik pakan dan pembibibitan skala kecil, petani jagung guna menekan harga input, dimana peternak Mandiri bergabung dengan kelompok Sentra Perunggasan Rakyat (SPR). Sedangkan guna mengatasi permasalahan biaya produksi atau menampung dan memperdagangkan perlu kerjasama dengan BUMN, RPA (Rumah Potong Ayam) modern utamanya pada bagian hilir, serta kelompok pedagang daging ayam di pasar tradisional sehingga dengan demikian produk terdistribusi dengan baik, rantai pasoknya lebih pendek antara sektor hulu dan hilir. 3. Berkaitan dengan upaya pengembangan ilmu pengetahuan perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai daya saing utamanya di pasar bebas ASEAN dengan mengkombinasikan dan menambahkan analisis Internal Factor Evaluation (IFE) untuk mengidentifikasi dan mengevaluasi faktorfaktor internal yang menjadi kekuatan dan kelemahan, serta analsis matrik Eksternal Factor Evaluation (EFE) dalam hal faktor-faktor eksternal.

English Abstract

In the era of free trade in the ASEAN region, it is necessary to increase competitiveness to seize opportunities to compete in the ASEAN market region and outside which will also take advantage of the openness of the market. The poultry industry as a supplier of Indonesian animal protein generates around US $ 21 million per year {(86% of the poultry industry, cattle (8%), pork (5%) others (1%)) This condition is because broiler meat prices are more affordable than beef meat. , this sector is dominated by large industries with a more efficient and vertically integrated business structure. The national consumption of chicken meat in 2016 was 1,345,706 tons while the production was 1,592,669 tons so that this need could be met from the domestic poultry industry (Ministry of Agriculture, 2016). In 2018 the production of purebred chicken meat (carcass) was based on the realization of DOC production (January-June 2018) and the potential (July-December 2018) was 3,382,311 tons with an average monthly rate of 27,586 tons, while carcass needs were 3,051,276 tons, so that The condition of the national chicken meat has been overproduced by 331,035 tons (Ministry of Agriculture 2018). The export volume of frozen carcass products as of October 2019 was 144.9 tons with an export value of US $ 249,348 consisting of 25 tons of chicken thighs with a value of US $ 85,825, processed products of 39 tons with a value of US $ 132,451, an increase of 723% from for the 2017 period with a volume of 17.6 tons, the export destinations are Timor Leste (frozen carcass), Japan and Papua New Guinea (processed products) and chicken thighs to West Africa (BPS, 2019). This export achievement shows that the broiler industry has adequate competitiveness to meet the needs of the domestic and export markets because broiler farms have developed into a vertically integrated, dynamic industry with the support of multinational companies, especially in the upstream segment (feed industry and DOC). , which acts as a motor of supply chain driving (Saptana, 2016). Meanwhile, Thailand has been exporting raw (uncooked) chicken to Japan since the end of 2013 (Preechajan, 2014). The research objectives were (1) to analyze the competitive and comparative advantage of broiler production after the implementation of the ASEAN free market (2) to analyze the efficient use of production factors, the impact of government policies and market distortions at the time the ASEAN free market was implemented (3) to analyze the strategy / position (power competitiveness) production of broilers with the implementation of the ASEAN free market. The research location was determined purposively in Lamongan Regency as a research location based on the consideration that Lamongan Regency has the prospect of the largest poultry population in East Java with a population in 2011-2015 reaching 44,915,845 (24.976%) of the 179,830,682 population of East Java. so that the population of broilers in Lamongan district is around 40% of the population in East Java. The research sample consisted of 226 plasma breeders (43%) out of 515 plasma farmers with a business scale of xvi under 5000 (small) as many as 200 farmers (88.49%), while over 5000 (large) were 26 breeders (11.50 %), 12 core partner companies, and 2 cutters who have RPA. This study uses the Policy Analysis Matrix (PAM), variable factor revenue, tradable input costs, domestic factor costs, and profits calculated based on private (market) prices for financial analysis and social prices for economic analysis. Meanwhile, the variable for tradable and domestic input factors is differentiated based on the domestic and foreign components. Financial efficiency analysis uses profitability indicators at market prices, while economic efficiency analyzes use profitability at social prices. The level of competitive advantage is indicated by the Private Cost Ratio (PCR) indicator and comparative advantage by the Domestic Resource Cost Ratio (DRCR). The influence of policy distortion and market failure based on indicators of output transfer (OT), input transfer (IT), transfer factor (FT), Net policy transfer (NT), nominal output protection coefficient (NPCO), nominal input protection coefficient (NPCI), Effective protection coefficient (EPC), profit coefficient (PC), and producer subsidy ratio (SRP). The results of the calculation show that the farmer's private profit on both business scales is lower than their social acceptance. This is because farmers get private carcass prices of Rp. 29,159 / kg, cheaper than the social price of carcasses of Rp. 30,651 / kg. The difference between revenue and costs provides a private benefit of IDR 30,710,502 (IDR 2,179 / kg) for a scale of ≤ 5000 heads and IDR 100,815.67 (IDR 2,342 / kg) for a scale> 5000 birds, lower than the social benefits of IDR 41,453,244 (IDR 2,637 / kg) and IDR 131,995.53 (IDR 2,647 / kg). Based on the economic factor, it turns out that the profit on the scale of ≤ 5000 heads gets lower profits than the scale> 5000 heads, this is because the price of feed and OVD inputs on a scale of ≤ 5000 is lower than the scale> 5000 this difference is based on the contract price of input from the factory, whereas the determination of the output price depends on the level of technical efficiency in the production process carried out by the farmer. These technical factors are known from farmers on a scale of> 5000 head which results in feed conversion value (FCR), body weight (BW), except for chicken mortality which is better than the business scale of ≤ 5000 head, with details of the feed conversion value, body weight and mortality rate of breeders. business scale> 5000 heads respectively 1.474, 2.08 kg, and 4.67 percent, while on the scale of ≤ 5000 heads each of 1.583, 2.05 kg, and 4.17 percent. Based on the calculation of the PCR (Private Cost Ratio) value, it shows that broiler farms in Lamongan Regency have a competitive advantage which is shown by the PCR value of 0.93 for business scale breeders ≤ 5000 heads and 0.89 for business scales> 5000 heads. This means that to get the added value of one foreign exchange unit (1 US $) it takes 0.93 US $ (12,393.18 IDR) and 0.89 US $ (11,860.14 IDR) domestic resource costs, respectively for scale breeders. businesses ≤ 5000 heads and scale of business> 5000 heads. This condition shows that the business is financially efficient because it can finance its domestic factors at private prices. The comparative advantage is shown by the DRCR (Domestic Resource Cost Ratio) value of 0.88 for business scale breeders ≤ 5000 heads and 0.82 for business scales> 5000 heads. This value means that to save one unit of foreign exchange (1 US $), 0.88 dollars (Rp. 11,726.88) and 0.82 US $ (Rp. 10,927.32) are needed, respectively, for business scale breeders ≤ 5000 head and business scale> 5000 head, meaning that the xvii broiler farm business is economically efficient in the use of domestic resources, the existence of domestic demand is more profitable with an increase in domestic production. Based on these data, it can be said that if chicken meat is produced domestically, it will save the country's foreign exchange 12-18 percent of the import costs that must be incurred. Based on a sensitivity analysis due to changes in the price of DOC following the revised MOA Number 61 / Permentan / PK.230 / 12/2016 with the provision that the DOC price is Rp. 4800 and the price of chicken is Rp. 18,000, while other factors are considered constant and exist. policy distortions (import tariffs for feedstuffs, eliminated). In this study, the sensitivity of the change in the price of DOC was Rp. 5,483.00 / head to Rp. 4,800, - / head according to the revised price provisions of the Permentan or decreased by 12%, while the price of chickens was Rp. 15,200, - / head to Rp. 18,000 / head or up 15% while other factors remain, will increase the financial efficiency and competitiveness of broiler partnerships. In terms of the price of DOC according to the provisions of the MOA, private profits increase to IDR 4,366,370.00 (14%) or IDR 2,179.00 / kg on a scale of ≤ 5000 heads and IDR 3,798,136.00 (64%) or IDR 2,632.00 / kg on a scale> 5000 head. This means that there is marketing efficiency for DOCs, both due to policy distortions and market failures, causing broiler production costs on both business scales to increase. Input transfers at both business scales are positive, this means that the production of broiler partnerships in Lamongan district gets a subsidy equal to the value of the input transfer, where the transfer is obtained apart from the OVD price as well as from gas and electricity. Meanwhile, based on the results of the analysis of the NPCI value, the value is 1.01, this means that the tradable input price at the domestic price is the same as the social price. Net transfers for both business scales decreased from IDR -10,642,742 and IDR -31,179,865 to IDR - 6,742,409 and IDR -31,835,923. The decrease in net transfers of Rp. 3,918,333 (37%) and Rp. 6,560.58 (2%) resulted in the PC (Profitability Coefficient) value increasing from 0.74 to 0.84 and from 0.76 to 0.84, this condition shows that the price of DOC according to the provisions of the MOA can increase private profits to 14 percent and 4 percent of social benefits. The value of EPC (Effective Protection Coeffisient) on both business scales increased from 0.86 to 1.07, this shows that the added value of output at private prices increased from 86 percent to 100 percent of added value at social prices. The SRP value decreased from - 0.04 and -0.08, meaning that the profits received by farmers were reduced by 4 percent and 8 percent of their economic income. It is concluded that the price of DOC according to the provisions of the MOA results in low production costs, which can increase competitiveness and efficiency. Meanwhile, to find out the competitive advantage can be seen based on the PCR value, where based on the efficient DOC price it can increase competitive advantage, this can be seen from the decreased PCR value on both business scales, namely 0.88 to 0.78 on a business scale of ≤ 5000 heads and 0.84 to 0.78 and a scale of> 5000 individuals. This condition shows the amount of domestic factor costs needed to get the added value of one foreign exchange unit (1 US $) on the two business scales decreasing respectively 0.10 US $ (Rp.2,179.00) and 0.06 US $ (Rp.2,632, 00). Based on the environmental factors approach, these are grouped into strengths, weaknesses, opportunities, and threats, based on a qualitative descriptive study, no rating (score) approach is used and the weights include the Internal Factor xviii Evaluation (IFE) matrix and the External Factor Evaluation (EFE) matrix, because the data and the information used comes from open questionnaires and limited respondents, regarding the conditions with the implementation of the ASEAN free market. The results of the analysis show that external opportunities and threats can be adjusted to the strengths and weaknesses contained in broiler agribusiness, so that a strategy can be obtained that can increase strengths and opportunities and reduce weaknesses and threats that occur, therefore comparing internal and external factors can describe Broiler chicken agribusiness position to face opportunities and threats where based on existing conditions and situations, the most likely position is in quadrant three (3), which is to support a turn-around strategy where this quadrant describes the existing position facing a large market opportunity, but the company also faces various internal weaknesses or obstacles, that's why the strategy used is to minimize internal problems, to seize better market opportunities. The research concludes that: 1. The results of the analysis show that broiler agribusiness has a competitive advantage with the indicator value of Private Cost Ratio (PCR) <than l on all production scales, this means that these activities can pay for domestic resource costs and remain competitive on private prices. Meanwhile, the DRCR (Domestic Resource Cost Ratio) indicator on both production scales is <l, this means that it can save domestic resource costs to generate one unit of foreign exchange. 2. The results of the analysis show that the agribusiness has an efficiency value with a positive private profit value, this means that the livestock agribusiness can compete at the actual price level, the existence of a policy on the producer affects the competitiveness of the product where this is known based on the private profit value of the product. private prices in a commodity system based on technology, output value, input costs and policy transfer. While the results of the analysis of social benefits calculated based on revenue and costs based on social prices (efficiency prices) show a positive value (have a comparative advantage) and can compete at the international price level The results of the analysis of Transfer Output (OT) parameters are positive, on a production scale. (> 5000) this means that there are subsidies for agribusiness or consumers that provide incentives to producers and traders at prices that are higher than the price they should be, while on the production scale (<5000) the value of Transfer Output (OT) is negative, this means that consumers buy from producers and get a price lower than the actual price or there is a transfer of resources that reduces the advantages of the agribusiness system, while the output price in the domestic market is higher than the import (or export) price or there is a protection policy because of the NPCO (Nominal Protection Coefficient on Output) ) 1.01 (> 1) There is a revision Permentan Number 61 / Permentan / PK.230 / 12/2016 shows the existence of DOC marketing efficiency, both due to policy distortions and market failures, causing broiler production costs on both business scales to increase, DOC prices according to MOA regulations result in low production costs. can increase competitiveness and efficiency. 3. Based on existing conditions and situations, the most likely strategy and position is in quadrant three (3), which is to support a turn-around strategy where the existing position faces large market opportunities, but the company xix also faces various weaknesses or internal constraints. That's why the strategy used is to minimize internal problems, to seize better market opportunities. Some suggestions that can be recommended are the need for policies and strategies to increase competitiveness and efficiency in the use of production factors, including the following: 1. It is necessary to establish a model framework for the development of chicken farms, especially in entering the ASEAN free market, where togetherness and mutual benefit opportunities are formed between sub-sectors, this condition is faced by domestic broiler agribusiness and is a basic obstacle and inhibits competitiveness. For example, the excess supply of DOCs, dependence on imports of GPS seeds (Grand Parent Stock), the uncertainty of the Government in terms of the Rupiah exchange rate and food raw materials (corn) and medicines. 2. To create the efficiency of national chicken agribusiness, stakeholder coordination is required, the role of the Government as the controlling center so that there is a balance between large entrepreneurs and smallholder farmers in terms of protection of the continuity of the national chicken agribusiness, promotion support at all scales of breeders to increase competitiveness, a group management model is formed. and integrated with feed mills and small-scale nurseries, maize farmers to reduce input prices, where Independent breeders joined the People's Poultry Center (SPR) group. Meanwhile, to solve the problem of production costs or accommodating and trading, it is necessary to collaborate with BUMN, modern RPA (Chicken Slaughterhouses), especially in the downstream part, as well as groups of chicken meat traders in traditional markets so that the product is well distributed, the supply chain is shorter between the upstream sector. and downstream. 3. In connection with science development efforts, further research is needed on its main competitiveness in the ASEAN free market by combining and adding Internal Factor Evaluation (IFE) analysis to identify and evaluate internal factors that are strengths and weaknesses, as well as External matrix analysis. Factor Evaluation (EFE) in terms of external factors.

Other obstract

-

Item Type: Thesis (Doctor)
Identification Number: 0620050001
Uncontrolled Keywords: -
Subjects: 300 Social sciences > 338 Production > 338.1 Agriculture > 338.17 Products > 338.176 5 Products (Poultry)
Divisions: S2/S3 > Doktor Ilmu Ternak, Fakultas Peternakan
Depositing User: Budi Wahyono Wahyono
Date Deposited: 17 Feb 2021 13:55
Last Modified: 13 Apr 2023 02:46
URI: http://repository.ub.ac.id/id/eprint/183221
[thumbnail of DALAM MASA EMBARGO] Text (DALAM MASA EMBARGO)
Siti Naviah.pdf
Restricted to Registered users only until 31 December 2023.

Download (96MB)

Actions (login required)

View Item View Item