Adhyaksa, Perwira (2019) Batasan Penyalahgunaan Wewenang Dalam Tindak Pidana Korupsi Setelah Berlakunya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan. Sarjana thesis, Universitas Brawijaya.
Abstract
Penelitian ini berangkat dari adanya conflict of norm antara UU Tindak Pidana Korupsi dengan UU Administrasi Pemerintahan. Dalam UU Tindak Pidana Korupsi mengenai Penyalahgunaan wewenang diatur dalam Pasal 3, namun mengenai apa yang dimaksud dengan penyalahgunaan wewenang tidak terdapat penjelasannya secara eksplisit. Kemudian, berdasarkan Pasal 5 UU Pengadilan Tipikor, bahwa Pengadilan Tipikor mempunyai kewenangan absolut dalam mengadili perkara tindak pidana korupsi. Permasalahan muncul ketika lahirnya UU Administrasi pemerintahan, yang dalam substansinya merumuskan pula mengenai penyalahgunaan wewenang yang disebutkan dalam Pasal 17. Dan dalam Pasal 21 dirumuskan mengenai pemberian kewenangan kepada PTUN untuk mengadili kasus penyalahgunaan wewenang tersebut. Kedua ketentuan peraturan perundang-undangan tersebut tidak memiliki batasan yang cukup jelas untuk menentukan Pertama, Penyalahgunaan wewenang seperti apakah yang dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi dalam Pasal 3 UU PTPK dan penyalahgunaan wewenang seperti apakah yang dikaterogikan sebagai penyalahgunaan wewenang dalam Pasal 17 UU AP; Kedua, Pengadilan manakah yang berwenang mengadili penyalahgunaan wewenang tersebut, Pengadilan Tipikor ataukah PTUN. Berdasarkan latar belakang tersebut diatas, terdapat dua rumusan masalah yang dikemukakan, antara lain (1) Bagaimana batasan secara formil penyalahgunaan wewenang dalam tindak pidana korupsi setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 30 tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan?; (2) Bagaimana batasan secara materiil penyalahgunaan wewenang dalam tindak pidana korupsi setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 30 tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan? Untuk menjawab permasalahan diatas penelitian hukum normatif ini menggunakan pendekatan perundang-undangan dan pendekatan konseptual. Bahan hukum primer, sekunder, dan tersier yang diperoleh peneliti untuk dianalisis dengan menggunakan metode interpretasi sistematis, interpretasi gramatikal dan interpretasi ekstensif sehingga dapat disajikan dalam penelitian yang lebih sistematis guna menjawab isu hukum yang telah dirumuskan. Berdasarkan pembahasan, maka dapat disimpulkan: 1) Batasan Formil, yaitu dalam proses penegakan hukum penyalahgunaan wewenang pejabat pemerintah seharusnya diselesaikan melalui mekanisme administrasi terlebih dahulu, dalam hal apabila memang setelah proses administrasi adanya dugaan pelanggaran yang bersifat pidana, barulah aparat penegak hukum pidana dapat melakukan penindakan sesuai cara-cara yang telah ditentukan dalam mekanisme yang diatur dalam ketentuan hukum pidana. Hal ini sesuai dengan Asas Ultimum Remedium, bahwa hendaknya suatu persoalan viii diselesaikan terlebih dahulu melalui jalur alternatif lain yang tersedia disamping proses hukum pidana, dan hendaknya pidana itu dijadikan sebagai upaya terakhir dalam suatu penegakan hukum. (2) Batasan materiil penyalahgunaan wewenang dalam tindak pidana korupsi adalah rumusan dalam ketentuan Pasal 3 UU PTPK, yaitu a. Unsur dengan tujuan menguntungkan diri sendiri, atau orang lain, atau suatu korporasi; b. Unsur Menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya, karena jabatan atau kedudukan; dan c. Unsur merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Dimana unsur “menyalahgunakan kewenangan” dapat menarik pengertian dari ketentuan Pasal 17 UU AP, yaitu a. Melampaui Wewenang; b. Mencampuradukkan Wewenang; dan c. Bertindak Sewenang-wewenang sepanjang masih terdapat relevansinya dalam pembuktian kasus tindak pidana korupsi yang menyangkut persoalan tersebut.
English Abstract
This study departs from a conflict of norm between the Corruption Crime Act and the Government Administration Act. In the Corruption Crime Act regarding Abuse of Authority explained in Article 3, there is no explicit explanation regarding what is meant by the abuse of authority . Furthermore, in Article 5 of the Corruption Court Law, it is explained the Corruption Court has absolute authority in hearing cases of corruption. The problem arises with the enactment of the recently drafted Government Administrative Law, which in substance also formulates the abuse of authority mentioned in Article 17. And in Article 21 it is formulated regarding the granting of authority to PTUN to adjudicate cases of abuse of authority. The two provisions of the laws and regulations do not have clear enough limits to determine First , Abuse of authority as what is categorized as a criminal act of corruption in Article 3 of the PTPK Law and abuse of authority as what is categorized as an abuse of authority in Article 17 of the AP Law; Second, which court is authorized to adjudicate the misuse of that authority, the Corruption Court Or The Administrative Court. Based on the abovementioned topic overview, there are two questions to which this research seeks to provide the answers as follows, (1) What are the formal limits on the abuse of authority in criminal acts of corruption after the enactment of Law Number 30 of 2014 concerning Government Administration? ; (2) What are the material limitations on the abuse of authority in criminal acts of corruption after the enactment of Law Number 30 of 2014 concerning Government Administration? To answer the abovementioned questions, this normative legal research draws upon a statutory approach and a conceptual approach . Primary, secondary, and tertiary legal materials obtained by researchers are to be analyzed using the method of systematic interpretation, grammatical and extensive interpretation so the findings can be presented in more systematic manner in order to answer the legal issues this research seeks to point out. Based on the research findings, it can be concluded that : 1) Formal limitations, namely in the process of law enforcement regarding the abuse of authority, the matter should firstly seek recourse to administrative mechanism, in the event that after the administrative process find violations to be of a criminal nature, then criminal law enforcement officers can take action according to the ways that have been determined in the mechanism stipulated in the provisions of criminal law. This is in accordance with the Ultimum Remedium Principle, that a problem should be solved first through other alternative channels available in addition to the criminal legal process, and that the criminal act should be used as a last resort in law enforcement. (2) The material limit on the abuse of authority in a criminal act of corruption is the formulation in the provisions of Article 3 of the PTPK Law , namely a. the aim of benefiting oneself, or another person, or a corporation; b. abuse of the authority, opportunity, or means available to the commisioner of crime, enabled by the party's position or stature; and c. harming the country's finances or the country's economy. the element of "abuse of authority" can draw understanding from the provisions of Article 17 of the Government Administration Law, namely a. Acting beyond Authorized Capacity; b. Confounding authority; and c. Acting as long as there is still relevance in the contravention of the law related to the issue.
Item Type: | Thesis (Sarjana) |
---|---|
Identification Number: | SKR/FH/2019/335/051908390 |
Uncontrolled Keywords: | - |
Subjects: | 300 Social sciences > 345 Criminal law > 345.02 Criminal offenses > 345.023 23 Specific crimes and classes of crime (Corruption) |
Divisions: | Fakultas Hukum > Ilmu Hukum |
Depositing User: | Endang Susworini |
Date Deposited: | 11 Jul 2020 04:46 |
Last Modified: | 05 Oct 2020 02:51 |
URI: | http://repository.ub.ac.id/id/eprint/174511 |
Actions (login required)
View Item |