Kewenangan Pemerintah Daerah Dalam Pengembangan Ekowisata Di Taman Wisata Alam Baning Kabupaten Sintang

-, Redin (2018) Kewenangan Pemerintah Daerah Dalam Pengembangan Ekowisata Di Taman Wisata Alam Baning Kabupaten Sintang. Doctor thesis, Universitas Brawijaya.

Abstract

Taman Wisata Alam Baning (TWAB) salah satu kawasan pelestarian alam yang memiliki potensi untuk ekowisata dengan obyek daya tarik wisata berupa hutan rawa gambut. Pengembangan ekowisata oleh Pemerintah Daerah tidak terlepas dari adanya otonomi daerah dengan transfer kewenangan dari Pemerintah Pusat kepada Daerah untuk mengembangkan potensi-potensi yang dimilikinya. Berdasarkan hak, wewenang dan kewajiban untuk mengatur dan mengurus sendiri, pemerintah daerah harus dapat melaksanakan pembangunan agar dapat memberikan manfaat bagi masyarakat di daerah. Dengan otonomi daerah, pemerintah mendekatkan pelayanan kepada masyarakat lokal untuk menciptakan kesejahteraan, dengan meniadakan kesenjangan selama ini terjadi antar pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Pengembangan ekowisata di TWAB perlu memetakan potensi dan menawarkan obyek daya tarik wisata alam yang ada serta meningkatkan pengembangan potensi yang saat ini belum dilakukan dengan optimal. Untuk mengoptimalkan pengembangan ekowisata di TWAB perlu menganalisis bagaimana kewenangan pemerintah daerah dalam melaksanakan pengembangan ekowisata di taman wisata alam. Kewenangan pemerintah daerah di TWAB berkaitan dengan kebijakan pusat dan daerah untuk pengembangan ekowisata di TWAB Kabupaten Sintang. Berdasarkan hal tersebut, maka tujuan utama penelitian adalah untuk mengidentifikasi kewenangan pemerintah daerah dalam pengembangan ekowisata di TWAB Kabupaten Sintang. Untuk mencapai tujuan utama tersebut dilakukan analisis terhadap : (1) pelaksanaan Kewenangan Pemerintah Daerah Kabupaten Sintang dalam pengembangan ekowisata daerah di Taman Wisata Alam Baning; (2) faktor-faktor yang mendukung dan menghambat wewenang Pemerintah Daerah Kabupaten Sintang dalam pengembangan ekowisata daerah di Taman Wisata Alam Baning; dan (3) model alternatif kewenangan Pemerintah Daerah Kabupaten Sintang dalam pengembangan ekowisata daerah di Taman Wisata Alam Baning. Penelitian ini menggunakan metode pendekatan hukum empiris (empirical legal study) yang bertumpu pada data hasil wawancara, observasi dan dokumentasi yang disajikan secara deskriptif analitis. Analisis data penelitian ini mengunakan model Analisis Data Interaktif dari Miles, Huberman dan Saldana. Untuk menganalisis dan mengkaji semua masalah dan membuktikan tujuan penelitian disertasi ini digunakanlah berbagai teori dasar (grand theory). Penggunaan teori diawali dengan teori kewenangan. Teori ini berasumsi bahwa dalam melaksanakan urusan pemerintahan, pemerintah harus berpedoman pada kewenangan yang di atur di dalam peraturan perundang-undangan atau lebih dikenal dengan asas legalitas. Terkait kewenangan pemerintah daerah dalam menyelenggarakan urusan kepariwisataan maka teori otonomi daerah, teori desentralisasi, teori pemerintah daerah, teori pariwisata dan teori ekowisata digunakan untuk menganalisis pelaksanaan kewenangan pemerintah kabupaten dalam mengembangkan ekowisata di Taman Wisata Alam. Setelah pembahasan teoritik selesai dan proses pencarian data secara metodologis dianggap cukup dan dianalisis mengunakan model Analisis Data Interaktif ditemukanlah hasil sebagai berikut: Memperhatikan hasil wawancara, observasi dan studi kepustakaan atau dokumen diketahui bahwa pelaksanaan kewenangan Pemerintah Kabupaten Sintang dalam pengembangan ekowisata di TWAB dapat terlaksana dengan optimal ditentukan oleh (1) adanya kesamaan pemahaman dan sinergitas antara pemerintah daerah dengan BKSDA Kalimantan Barat untuk mengembangkan ekowisata di blok pemanfaatan; (2) Pembangunan sarana dan prasarana pendukung ekowisata; dan (3) melibatkan masyarakat sekitar kawasan untuk berpartisipasi dalam pengelolaan. Faktor yang mendukung pelaksanaan kewenangan pemerintah daerah dalam pengembangan ekowisata di TWA Baning, yang dilihat dari faktor: (1) otonomi daerah mendorong pemerintah daerah untuk mengembangkan potensi ekowisata daerah dengan melakukan promosi, membangun aksesibilitas dan fasilitas pendukung kegiatan ekowisata; (2) potensi flora, fauna dan panorama hutan rawa gambut yang menjadi daya tarik wisata dengan ditunjang aksesibilitas yang mendukung pengembangan ekowisata di blok pemanfaatan; dan (3) komitmen pemimpin merupakan hal yang penting dalam mendukung upaya pengembangan ekowisata ditingkat daerah. Sedangkan faktor penghambat dilihat dari faktor: (1) status kawasan yang menjadikan TWA Baning dikelola secara sentralistik oleh pemerintah pusat melalui BKSDA Kalimantan Barat, sehingga membatasi keterlibatan pemerintah kabupaten Sintang, padahal daerah memiliki kepentingan untuk pengembangan ekowisata; (2) koordinasi antara pemerintah kabupaten Sintang dengan BKSDA Kalimantan Barat yang kurang intensif berdampak pada tidak optimalnya pengelolaan TWAB untuk kepentingan ekowisata; dan (3) terbatasnya kemampuan keuangan atau anggaran daerah juga menjadi salah satu penghambat pengembangan sarana dan prasarana pendukung ekowisata. Model empirik kewenangan pemerintah Kabupaten Sintang melalui Dinas Pariwisata hanya memiliki kewenangan pengelolaan area luar kawasan, sehingga hanya sebatas pada pembangunan gerbang masuk kawasan, lokasi parkir, kios dan pos jaga serta dua jalan akses masuk kawasan. Hal ini tidak dapat mengoptimalkan fungsi TWAB sebagai objek wisata karena Pemda tidak memiliki kewenangan untuk membuka akses wisatawan masuk dalam kawasan. Karena kewenangan tersebut terletak pada BKSDA sebagai pemilik dan pengelola kawasan. Untuk mengatasi kelemahan model empirik dibutuhkan kelebihan dari model yang di rekomendasi yakni: (1) dapat mengoptimalkan sinergitas pengelolaan blok pemanfaatan ekowisata antara Pemerintah Kabupaten Sintang dengan BKSDA Kalimantan Barat; (2) pemerintah Kabupaten Sintang memiliki kewenangan pengembangan di dalam kawasan TWAB sesuai dengan klausul PKS; (3) mempercepat pembangunan sarana dan prasarana penunjang ekowisata di blok pemanfaatan; dan (4) memberdayakan masyarakat sekitar kawasan. Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut : Pertama, Pemerintah Daerah Kabupaten Sintang dalam melaksanakan kewenangannya untuk pengembangan pariwisata, berpedoman pada ketentuan Pasal 12 ayat (3) huruf b Undang-Undang No 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah berserta lampirannya. Pasal 30 Undang-Undang No 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan beserta Peraturan Daerah Kabupaten Sintang. Untuk mengoptimalkan pengembangan ekowisata pemerintah daerah harus bersinergi dengan BKSDA Kalimantan Barat pembangunan sarana dan prasarana pendukung ekowisata yang berpedoman pada Peraturan Pemerintah No 28 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam Pasal 43 ayat (3) dan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.85/Menhut-II/2014 tentang Tata Cara Kerjasama Penyelenggaraan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam, Pasal 5 ayat (2) huruf b, Pasal 6 ayat (1) huruf e dan Pasal 11 ayat (2). Karena terdapat perbedaan pandangan antara BKSDA dengan Pemerintah Kabupaten Sintang dalam memanfaatkan TWAB untuk kepentingan wisata. Padahal Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 dengan tegas menyatakan bahwa TWA difungsikan utama untuk kepentingan pariwisata alam. Kedua, faktor-faktor pendukung yang perlu terus diperkuat dalam rangka melaksanakan kewenangan pengembangan ekowisata, antara lain adalah: penguatan kewenangan pemerintah daerah dalam mengelola sumber daya daerah sesuai dengan prinsip otonomi daerah; pengembangan potensi ekowisata dan aksesibilitas untuk meningkatkan kunjungan wisatawan; dan mendorong komitmen pimpinan daerah untuk mengembangan ekowisata di TWAB. Sedangkan faktor penghambat yang perlu diminimalisir, antara lain adalah: kewenangan pengelolaan kawasan yang bersifat sentralistik dan tidak mengakomodir kepentingan daerah terhadap pengembangan ekowisata daerah; kurang efektifnya koordinasi antara pemerintah daerah dengan pihak BKSDA Kalimantan Barat; serta tidak tersedianya anggaran daerah untuk pengembangan sarana dan prasarana guna menunjang kegiatan ekowisata. Ketiga, model ideal dalam pelaksanaan kewenangan pengembangan ekowisata yang direkomendasikan adalah suatu model yang di dalamnya terdapat Perjanjian Kerjasama penyelenggaraan pengembangan Ekowisata, yang merupakan dokumen penyearah bagi Pemerintah Daerah dengan BKSDA Kalimantan Barat untuk pengembangan blok pemanfaatan dalam upaya pembangunan sarana dan prasarana penunjang ekowisata, sehingga dapat menjadi destinasi ekowisata yang terjaga kelestarian lingkungan dan berkelanjutan dengan melibatkan multi stakeholder dan memberdayakan masyarakat sekitar kawasan.

English Abstract

Baning Nature Tourist Park (NTP) is one of nature conservation areas that has the potential for ecotourism development where peat swam forest ecosystem becomes one of its attractions. The development of ecotourism by local Government is inseparable from the existence of regional autonomy where limited authority is transfered from the Central Government to regional and local governments. Based on the new policy, local government is allowed by national rules to exercise its rights, authority and duty to develop and benefit from all the potentials that exist for the welfafare of the people. Ecotourism development in NTP needs to map the tourism potentials including that can be offered as tourism attractions and maximize their development. To optimize ecotourism development in NTP it is necessary to analyze how the authority of local government can be exercised in implementing ecotourism development in NTP Sintang Regency. Based on this, the main objective of the research is to identify the scope and limits of authority of the regional government related to the development of ecotourism in NTP Sintang Regency. To achieve the main objective, analyses were conducted on: (1) the possible implementation of the authority of the Sintang Regency Government in the development of regional ecotourism in the Baning NTP; (2) factors supporting and hampering the authority of Sintang Regency Government in developing local ecotourism in Baning NTP; and (3) alternative model of authority of Sintang Regency Government in developing local ecotourism in Baning NTP. This research uses empirical legal study method based on primary and secondary data obtained from interviews, field observations and documentation. Data are analysed qualitatively using Interactive Model of Data Analysis from Miles, Huberman and Saldana. To analyze and examine all problems and to serve the purpose of this dissertation the research uses various grand theories. The use of theory begins with the theory of authority. This theory assumes that in carrying out government affairs, the government should be guided by the authority set in the legislation or better known as the legality principle. In relation to the authority of regional government in conducting tourism affairs, the theory of regional autonomy, decentralization theory, local government theory, tourism theory and ecotourism theory are used to analyze the implementation of district government authority in developing ecotourism in in NTP. After the theoretical framework has been formulated and the process of searching the data methodologically is considered sufficient, results of this research are as follows: By observing the results of interviews, observations and documents, it is shown that the optimalization of the authority of the Sintang Regency Government in the development of ecotourism in NRCC can be achieved through the following: (1) the uniformity of understanding and synergy between local government and NRCC West Kalimantan to develop ecotourism whthin the area of utilization block; (2) The development of facilities and infrastructures supporting ecotourism; and (3) the involvement of communities around the area to participate in its development. Implementation of local government authority in the development of ecotourism in Baning NTP is determined by the following factors: (1) regional autonomy encourages local government to develop local ecotourism potential by promoting, building accessibility and supporting facilities for ecotourism activities; (2) the potential of ecotourism and the accessibility of ecotourism attraction supported by the accessibility that supports ecotourism development makes use of supportive blocks developed for ecotourism; and (3) the commitment of leaders is important in supporting ecotourism development efforts at the regional level. While the inhibiting factors are seen from the following factors: (1) the status of the area that makes Baning NTP centralized by the central government through NRCC West Kalimantan, thus limiting the involvement of Sintang Regency government, whereas the regions have an interest to develop ecotourism in the region; (2) the coordination between the Sintang Regency government and the less intensive NRCC of West Kalimantan affects the ineffectiveness of the management of NTP for the benefit of ecotourism; and (3) limited financial capacity or regional budget also becomes one of the obstacles to the development of facilities and infrastructures supporting ecotourism. The empirical model of authority of Sintang Regency Government through Tourism Department only has the authority to manage the area outside the area, so it is only limited to the construction of the entrance gate area, parking location, kiosk and guard post as well as two access roads. It can’t optimize the Baning NTP function as a tourist attraction because the regional government does not have the authority to open tourist access into the area. Because the authority lies with NRCC as the owner and manager of the area. To overcome the weakness of the empirical model, the advantages of the recommended model are: (1) to optimize the synergy of management of ecotourism utilization block between Sintang Regency Government and NRCC West Kalimantan; (2) Sintang Regency Government has development authority within the Baning NTP area in accordance with the clause of the cooperation agreement; (3) accelerate the construction of ecotourism supporting facilities and infrastructures in utilization blocks; and (4) empower communities around the region. Based on the results of research and discussion, it can be drawn some conclusions as follows: Firstly, the Regional Government of Sintang Regency in exercising its authority for tourism development shall be guided by the provision of Article 12 paragraph (3) sub-paragraph b of Law No 23 of 2014 on Regional Government and its attachment. Article 30 of Law No. 10 Year 2009 on Tourism along with Sintang Regency Regulation. To optimize ecotourism development, the local government must synergize with BKSDA West Kalimantan, the development of facilities and infrastructures supporting ecotourism based on Government Regulation No. 28/2011 on Management of Nature Reserve and Nature Conservation Area Article 43 paragraph (3) and Forestry Minister Regulation Number P.85/Menhut- II/2014 on Procedures for Cooperation of Nature Conservation Area and Nature Conservation Area, Article 5 paragraph (2) letter b, Article 6 paragraph (1) letter e and Article 11 paragraph (2). Because there are differences of views between NRCC and Sintang Regency Government in utilizing Baning NTP for tourism purposes. Whereas Law no. 5 of 1990 expressly states that NTP is primarily functioned for the benefit of nature tourism. Second, supporting factors that need to be strengthened in the context of implementing ecotourism development authority are: strengthening the authority of local government in managing local resources in accordance with the principle of regional autonomy; the development of ecotourism potential and accessibility to increase tourist visits; and encourage the commitment of regional leaders to develop ecotourism in Baning NTP. While the inhibiting factors that need to be minimized, among others are: the authority of regional management that is centralistic and does not accommodate regional interests to the development of regional ecotourism; lack of effective coordination between local government and NRCC West Kalimantan; and the unavailability of regional budget for the development of facilities and infrastructure to support ecotourism activities. Third, the ideal model in the implementation of the recommended ecotourism development authority is a model in which there is a Cooperation Agreement on the implementation of Ecotourism development, which is a rectifier document for the Local Government with NRCC West Kalimantan for the development of the utilization block in the effort to develop the facilities and infrastructure of the ecotourism support, become eco-sustainable ecotourism destination by involving multi stakeholders and empowering the people around the area.

Other obstract

-

Item Type: Thesis (Doctor)
Identification Number: DIS/338.456/RED/k/2018/061810552
Uncontrolled Keywords: TOURISM—MANAGEMENT, TOURISM--GOVERNMENT POLICY
Subjects: 300 Social sciences > 338 Production > 338.4 Secondary industries and services > 338.45 Production efficiency > 338.456 Production efficiency in specific industries and groups of industries
Divisions: Program Pascasarjana > Doktor Kajian Lingkungan, Program Pascasarjana
Depositing User: Budi Wahyono Wahyono
Date Deposited: 09 Sep 2019 06:44
Last Modified: 09 Sep 2019 06:44
URI: http://repository.ub.ac.id/id/eprint/172559
Full text not available from this repository.

Actions (login required)

View Item View Item