Kebijakan Formulatif Upaya Hukum terhadap Putusan Bebas bagi Penuntut Umum dalam Perspektif Sistem Peradilan Pidana Indonesia

Artha, IGede (2012) Kebijakan Formulatif Upaya Hukum terhadap Putusan Bebas bagi Penuntut Umum dalam Perspektif Sistem Peradilan Pidana Indonesia. Doctor thesis, Universitas Brawijaya.

Abstract

Disertasi ini merupakan penelitian terhadap putusan bebas dalam beberapa kasus pidana yang diputus oleh hakim, dan menyangkut upaya hukum banding dan kasasi. Proses hukum yang adil ( due process of law ) dalam peradilan pidana Indonesia cenderung belum memberikan kepuasan bagi pencari keadilan. Banyaknya kasus pidana yang mendapat hukuman bebas seperti korupsi, narkotika, pembunuhan dan yang lainnya mengundang opini dan kontra oleh masyarakat luas. Kalangan praktisi maupun teoritisi hukum begitu pula pencari keadilan sering menyorot tajam putusan hakim dinilai sebagai peradilan yang direkayasa, penuh mafia dan kecurangan. Hukum Acara Pidana Indonesia atas landasan KUHAP masih tampak mengandung disharmonisasi norma hukum berupa tidak memberi kewenangan pada penuntut umum mengajukan upaya hukum banding maupun kasasi atas putusan bebas seperti tersurat dalam Pasal 67 dan Pasal 244 KUHAP, sehingga menciptakan ketidakseimbangan atau ketidakadilan norma hukum yang ada tentang pengaturan putusan bebas, tampak seperti adanya norma kosong, bahkan adanya norma kabur dalam hukum acara pidana atas landasan KUHAP tersebut. Dari fenomena di atas melahirkan permasalahan : 1. Mengapa penuntut umum tidak diberikan kewenangan oleh KUHAP untuk mengajukan upaya hukum banding dan kasasi terhadap putusan bebas?, 2. Bagaimana bentuk konstruksi hukum sebagai langkah kebijakan hukum pidana formil untuk upaya hukum dalam putusan bebas dalam SPP Indonesia perspektif ius constituendum? Disertasi ini menggunakan jenis penelitian normatif, dengan ditunjang oleh bahan hukum empirik. Penelitian bertujuan memberi solusi atas dishamonisasi yang terjadi dalam putusan bebas dan upaya hukumnya bagi penuntut umum. Disamping juga memberi masukan secara keilmuan bagi kalangan teoritik dan praktik. Dalam mengkaji putusan bebas ini menggunakan beberapa pendekatan seperti the statu approach , the analitical and conceptual approach , the case approach , the comparative approach dan philosophical approach . Sumber bahan hukum yang diteliti menyangkut bahan hukum primer, subsider dan tersier. Secara substansial putusan bebas dibandingkan pula dengan putusan lepas. Putusan bebas masih pula dipertentangkan menyangkut perlu atau tidaknya dimintakan upaya hukum. Pihak yang tidak setuju putusan bebas dimintakan upaya hukum karena putusan bebas dianggapnya sebagai suatu `hak` bagi terdakwanya. Pihak yang setuju memandang putusan bebas perlu dikontrol, dikoreksi pada tiap tahapan proses, karena putusan bebas di tingkat pertama oleh hakim pengadilan negeri belum tentu tepat. Putusan bebas juga dikenal di berbagai negara seperti : Amerika Serikat, Inggris, Prancis, Korea, Jepang dan lain-lain, namun bervariasi dalam penjatuhannya. Putusan bebas bagi Indonesia perlu dikaji dari perspektif hukum pidana, hukum acara pidana, hak asasi manusia. Putusan bebas sifatnya abstrak, namun dapat dirasakan oleh pencari keadilan, berupa puas tidak puas, adil tidak adil, tepat atau tidak. Sehingga putusan bebas bersentuhan dengan aspek filosofis (ontologi, epistemologi, aksiologi dan ideologi). Harapan pencari keadilan adalah lahirnya putusan-putusan hakim dengan pembebasan berintikan keadilan substantif. Beberapa teori hukum seperti teori hukum progresif menghendaki semua penegak hukum dalam sistem peradilan pidana untuk berpikir, bertindak dan mengambil keputusan yang responsif, dan progresif sesuai perkembangan tuntutan pencari keadilan. Khususnya hakim dalam memutus perkara dengan putusan bebas, betul-betul menerapkan dan menegakkan aturan hukum secara prosedural dan substansial atas justifikasi dan acuan legal justice, moral justice dan sosial justice, tanpa mengurangi dan mengabaikan asas legalitas, sebagai hal hakiki dalam hukum pidana. Perspektif ke depan formulatif upaya hukum terhadap putusan bebas dalam sistem peradilan pidana Indonesia dalam KUHAP diadakan reformulasi terhadap Pasal 67 dan Pasal 244 KUHAP, sehingga bagi penuntut umum mempunyai kewenangan atributif dalam memperjuangkan keadilan atas putusan bebas bagi semua pencari keadilan pada tiap tingkatan proses beracara dalam proses hukum yang adil ( due process of law ) melalui upaya hukum banding dan kasasi. Perkembangan praktek hukum di Indonesia dengan tercipta istilah bebas tidak murni tersebut memicu dan memacu banyaknya putusan bebas dengan dalih bebas tidak murni oleh penuntut umum dimohonkan kasasi pada Mahkamah Agung, sehingga menjadi beban bagi MA dengan banyaknya perkara menumpuk di MA. Maka untuk masa mendatang putusan bebas dapat dikontrol, dikoreksi untuk dapat dimohonkan banding oleh penuntut umum, demi kebenaran dan keadilan. Sehingga setiap putusan bebas yang diputus hakim tidak menciptakan opini kontroversial dari publik. Putusan bebas yang diciptakan hakim memenuhi rasa keadilan semua pihak untuk menghapus citra peradilan khususnya menyangkut putusan bebas yang selama ini dianggap penuh nuansa ketidakjujuran dari hakim dengan tuduhan adanya suap-menyuap, jual-beli putusan, mafia praktek, yang mestinya diputus bebas hakim memidana berat atau sebaliknya yang mestinya dipidana namun terdakwanya diputus bebas. Fenomena seperti itu menimbulkan cemohan publik bahwa telah terjadi peradilan sesat dalam dunia praktek peradilan di Indonesia. Perspektif ke depan konstruksi pengaturan putusan bebas menyangkut banding adalah: `terhadap putusan perkara pidana yang diberikan oleh pengadilan tingkat pertama, terdakwa atau penuntut umum dapat dan atau berwenang mengajukan permintaan banding kepada Pengadilan Tinggi termasuk putusan bebas.` Dan konstruksi pasal putusan bebas untuk kasasi adalah: `terhadap putusan perkara pidana yang diberikan pada tingkat terakhir oleh pengadilan lain selain Mahkamah Agung, terdakwa atau penuntut umum dapat dan atau berwenang mengajukan permintaan kasasi kepada Mahkamah Agung termasuk putusan bebas.`

English Abstract

This dissertation is a research of acquital (vrijspraak)in some criminal cases that were made by the judge, and related with the law effort of appellate and cassation. Due process of law in criminal justice of Indonesia tends to be not giving satisfaction for the justice seekers. The many amount of criminal cases that get acquital (vrijspraak)such as the cases of corruption, narcotic, murder, and others got opinion and contra from broad society. The practitioners and theoreticians of law and so does the justice seekers often spotlight the judge`s verdict which is judged as the engineering of justice, full of mafia and fraudulence. The Procedure of Criminal of Indonesia based on the Criminal Code stills seem to contain disharmony of law norms such as not to give the authority to general prosecutor to submit law effort of appellate and cassation upon the acquital (vrijspraak)as written in the Article 67 and Article 244 of Criminal Code, so it creates the disharmony or injustice in the existing law norms about the acquital (vrijspraak)arrangement, it seems that there is an empty norm, even there is a blur norm in the procedure of criminal with Criminal Code as the basis. From the above phenomena the problems that appear: 1. Why does the general prosecutor not be given the authority by the legislator of Criminal Code to submit the law effort of appellate and cassation to the free verdict?, 2. What is the form of law construction as the formal criminal law policy action for acquital (vrijspraak)and its law effort in the Integrated Criminal Justice System of Indonesia with the perspective of ius constituendum? This dissertation uses the normative research type, supporting by empiric law materials. This research has purpose to give solution upon disharmony that happen in the acquital (vrijspraak)and its law effort for the general prosecutor. Beside that, it also gives a scientifically input for the theoreticians and practitioners. In studying of this acquital (vrijspraak), it uses some approaches, such as the statute approach, the analytical and conceptual approach, the case approach, the comparative approach, and the philosophical approach. The source of the researched law materials related with the primary, secondary, and tertiary law material. Substantially, the acquital (vrijspraak) is also being compared with the ruling-out. The acquital (vrijspraak)is still being in contradiction related to whether it needs or not to be asked for its law effort. The party who does not agree with the acquital (vrijspraak)is being asked for the law effort because acquital (vrijspraak) is assumed as a `right` for the defendant. The party who agree with it views that the acquital (vrijspraak) needs to be controlled, to be corrected on each process actions, because the acquital (vrijspraak) in the first stage by the judge of district court is not always appropriate. Acquital (vrijspraak) is also being known in many countries, such as: The United States, British, Dutch, France, Korea, Japan, etc., but it varies in the verdict. Acquital (vrijspraak) in Indonesia still needs to be studied from the perspective of criminal law, procedure of criminal, human rights. Acquital (vrijspraak) is abstract, but it can be felt by the justice seekers, whether they are satisfy or not, just or not, appropriate or not. In that case, the acquital (vrijspraak)directly touches the aspect of philosophic (ontology, epistemology, axiology, and ideology). The justice seeker`s hope is the creation of judge`s verdicts with freeing has content of substantive justice. Some law theories such as progressive law theory suggested that all law enforcers in the criminal justice system to think, act, and make responsive and progressive decision according to the demand development of the justice seekers. For judge, especially, in making decision on a case with acquital (vrijspraak), he/she has to really apply and maintain the law regulation procedurally and substantially upon the justification and reference of legal justice, moral justice, and social justice, without lessening and obeying the legality principle, as the intrinsic thing in the criminal law. For the future perspective, the acquital (vrijspraak) arrangement and its law effort in the criminal justice system on Indonesia in the Criminal Code, it is arranged the reformulation for the Article 67 and Article 244 of the Criminal Code, in order that the general prosecutor has an attributive authority in fighting for justice upon the acquital (vrijspraak)to all justice seekers in each process stages of case in the due process of law through the law effort of appellate and cassation. The development of law practice in Indonesia by the creation of not pure freedom has trigger and spur on the many amount of the acquital (vrijspraak)with the reason of not pure freedom by the general prosecutor to be besought for cassation to the Supreme Court, so it becomes the responsibility for the Supreme Court by the many amount of cases that pile up in the Supreme Court. It is therefore, in the future the acquital (vrijspraak) can be controlled, to be corrected to be able to be besought for appellate and cassation, for the sake of the justice and justification. In that case, every acquital (vrijspraak) made by the judge does not create controversial opinion from the public. Acquital (vrijspraak) created by judge fulfill the sense of justice to all parties to remove the court image, especially related to the acquital (vrijspraak) that all this time is assumed to have many dishonesty nuances by the judge with accusation that there are bribe, purchase and sale of the verdict, mafia of practice, where the judge should made the acquital (vrijspraak) but he/she made the heavy punishment or, in the contrary, where the judge should made a punishment but he/she give the acquital (vrijspraak) for the defendant. Such phenomena cause public`s jeer that there has been a deviate court in the court practice world in Indonesia. The future perspective of acquital (vrijspraak) arrangement construction related to appellate is: `To criminal case verdict given in the first stage court, the defendant or the general prosecutor is able and or has authority to submit the appellate request to the high court including for free verdict`. And the construction of article

Item Type: Thesis (Doctor)
Identification Number: DES/364/ART/k/061302618
Subjects: 300 Social sciences > 364 Criminology
Divisions: S2/S3 > Doktor Ilmu Hukum, Fakultas Hukum
Depositing User: Endro Setyobudi
Date Deposited: 04 Jul 2013 09:42
Last Modified: 01 Mar 2024 07:21
URI: http://repository.ub.ac.id/id/eprint/160986
[thumbnail of 061302618.pdf] Text
061302618.pdf

Download (1MB)

Actions (login required)

View Item View Item