Safi (2016) Integrasi Kewenangan Pengujian Peraturan Perundang-Undangan Oleh Lembaga Peradilan (Judicial Review) Di Indonesia. Doctor thesis, Universitas Brawijaya.
Abstract
Adapun latar belakang dari penulisan disertasi ini adalah karena adanya potensial konflik putusan (conflict of norm) antara Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung dalam bidang pengujian peraturan perundang-undangan dan adanya kekosongan hukum. Hal ini disebabkan rumusan ketentuan dalam Pasal 24A ayat (1) dan 24C ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 yang memberikan wewenang pada Mahkamah Konstitusi untuk menguji terbatas pada undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, serta memberikan wewenang kepada Mahkamah Agung terbatas untuk menguji peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang terhadap undang-undang. Adapun permasalahan yang diteliti dalam disertasi ini adalah: a) Bagaimana kedudukan pengujian peraturan perundang-undangan (judicial review) dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia pasca perubahan UUD NRI Tahun 1945; b) Apa politik hukum pengaturan pemisahan kewenangan pengujian peraturan perundang-undangan (judicial review) antara Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi; dan c) Mengapa dibutuhkan integrasi kewenangan pengujian peraturan perundang-undangan oleh satu lembaga peradilan (judicial review) di Indonesia. Sedangkan tipe dari penelitian ini adalah penelitian hukum normatif dengan pendekatan perundang-undangan, pendekatan kasus, pendekatan sejarah, pendekatan perbandingan dan pendekatan konseptual. Adapun hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa: pertama, dalam sistem ketetanegaraan Republik Indonesia pasca perubahan UUD NRI tahun 1945, pengujian peraturan perundang-undangan oleh lembaga peradilan berkedudukan sebagai : a) bentuk control normatif dalam negara hukum, b) cheks and balances system dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, dan c) sebagai instrument perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM). Kedua, politik hukum pengaturan pengujian peraturan perundang-undangan sebelum perubahan UUD Tahun 1945, sebagaimana diatur pertama kali dalam pasal 26 UU No. 14 Tahun 1970, adalah : a) menempatkan parlemen sebagai lembaga yang supreme (supremacy parliament) sehingga undang-undang bersifat tidak dapat diganggu gugat (tidak dapat diuji konstitusionalitasnya oleh lembaga peradilan), sedangkan yang dapat diuji oleh Mahkamah Agung hanyalah peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang, dan b) mempersulit mekanisme pelaksanaannya, yaitu dengan menetapkan mekanisme pelaksanaannya hanya dapat dilakukan bersamaan dengan penanganan perkara konkritnya pada tingkat kasasi. Sedangkan politik hukum pengaturan pemisahan kewenangan pengujian peraturan antara Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi, yaitu adalah : a) menempatkan Mahkamah Konstitusi sebagai penafsir konstitusi, dan Mahkamah Agung sebagai viii penafsir undang-undang, padahal dalam menfasirkan undang-undang tidak dapat dilepaskan dari nilai-nilai konstitusi, dan b) hanya didasarkan pada alasan tehnis dan praktis semata yaitu karena sebelumnya Mahkamah Agung sudah memiliki wewenang untuk menguji peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang. Ketiga, integrasi kewenangan pengujian peraturan perundang-undangan oleh satu lembaga peradilan (judicial review) dibutuhkan, yaitu karena: a) untuk menjaga konsistensi satu kesatuan sistem nilai dalam muatan materi peraturan perundang-undangan dari norma tertinggi sampai pada norma yang paling rendah sehingga dapat lebih memberikan jaminan terhadap adanya kepastian hukum, HAM, dan keadilan, b) sebagai konsekuensi dari dianutnya sistem hirarki norma hukum dalam UU No. 12 Tahun 2011, c) untuk menghindari potensi terjadinya konflik putusan antara Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi dibidang pengujian peraturan perundangan serta menghindari kekosongan hukum yang ditimbulkan dari rumusan ketentuan Pasal 24A ayat (1) dan Pasal 24C ayat (1) UUD NRI Tahun 1945, dan d) untuk menghindari kesalahan pemahaman tentang kesetaraan kedudukan antara Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi. Adapun cara yang dapat dilakukan untuk mengintegrasikan kewenangan pengujian peraturan perundang-undangan oleh satu lembaga peradilan (judicial review) yaitu adalah : a) merubah ketentuan Pasal 24A ayat (1) dan Pasal 24C ayat (1) UUD NRI Tahun 1945, yaitu dengan mengeluarkan kewenangan Mahkamah Agung dalam bidang pengujian peraturan perundang-undangan, dan memasukkannya menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi, atau b) melalui penafsiran konstitusi oleh Mahkamah Konstitusi. Sedangkan lembaga peradilan yang paling tepat untuk diberi kewenangan pengujian peraturan perundang-undangan adalah Mahkamah Konstitusi, dengan alasan sebagai berikut : a) Mahkamah Konstitusi dibentuk untuk tujuan menangani perkara ketatanegaraan agar konstitusi dilaksanakan secara bertanggungjawab sesuai kehendak rakyat dan cita-cita demokrasi, b) untuk mengurangi beban tumpukan perkara di Mahkamah Agung, dan c) untuk memberikan jaminan kepastian hukum dan keadilan kepada masyarakat, karena tidak akan ada lagi putusan yang saling bertentangan antara Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi.
Item Type: | Thesis (Doctor) |
---|---|
Identification Number: | DIS/347.012/SAF/ i/2016/061607179 |
Subjects: | 300 Social sciences > 347 Procedure and courts |
Divisions: | S2/S3 > Doktor Ilmu Hukum, Fakultas Hukum |
Depositing User: | Nur Cholis |
Date Deposited: | 22 Dec 2016 14:45 |
Last Modified: | 22 Dec 2016 14:45 |
URI: | http://repository.ub.ac.id/id/eprint/160463 |
Actions (login required)
View Item |