Agung, AnakAgungIstri (2016) Makna Purusa Dan Pradana Dalam Putusan Hakim Mengenai Sengketa Waris Adat Bali. Doctor thesis, Universitas Brawijaya.
Abstract
Konsep purusa dan pradana dalam agama Hindu dan kehidupan masyarakat adat Bali bertujuan untuk mencapai keseimbangan hidup yang santhi/damai yaitu kebahagiaan lahir dan bhatin. Walaupun demikian sengketa waris masih terjadi, salah satu penyebabnya adalah adanya perbedaan didalam memaknai konsep purusa dan pradana itu sendiri, baik di kalangan masyarakat maupun dalam putusan hakim di pengadilan. Berdasarkan problematika tersebut, maka penelitian disertasi ini mengambil judul “Makna Purusa Dan Pradana Dalam Putusan Hakim Mengenai Sengketa Waris Adat Bali”, dengan rumusan masalah yaitu : (1) Apakah makna purusa dan pradana menurut ajaran agama Hindu dan hukum waris adat Bali? (2) Bagaimanakah Hakim memaknai purusa dan pradana dalam putusan pengadilan berkenaan dengan sengketa waris adat Bali?, (3) Bagaimanakah implikasi pemaknaan purusa dan pradana dalam putusan hakim terhadap masa depan hukum waris adat Bali? Putusan hakim selalu diharapkan dapat memenuhi rasa keadilan sebagaimana yang diamanatkan dalam Pasal 5 ayat 1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157). Untuk itu hakim wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Oleh karenanya teori yang dipakai sebagai pisau analisis adalah teori keadilan, kemanfaatan, kepastian hukum, receptio in complexu dan teori volkgeist. Penelitian ini merupakan Penelitian Hukum Normatif dengan pendekatan kasus, pendekatan konsep dan pendekatan sejarah. Adapun temuan-temuan penulis yaitu ada perbedaan pemaknaan konsep purusa dan pradana dalam agama Hindu dengan hukum waris adat Bali demikian pula dalam putusan hakim dalam pewarisan. Dalam agama Hindu lebih menekankan kepada anak yang suputra sedangkan dalam hukum waris adat Bali lebih kepada status/kedudukan seseorang dalam perkawinan, apabila digali lebih jauh, pada prinsipnya hukum waris adat Bali meresepsi hukum agama Hindu namun tidak mutlak. Perbedaan Pemaknaan ini juga terdapat dalam putusan-putusan majelis hakim. Dengan demikian dapat disimpulkan : (1) Purusa dalam ajaran agama Hindu dimaknai sebagai keturunan laki-laki dan/atau perempuan/putrika yang suputra, yang menjalankan dan meneruskan swadarmanya sebagai keturunan kapurusa. Pradana dalam ajaran agama Hindu dimaknai sebagai keturunan perempuan dan/atau laki-laki yang suputra, yang setelah perkawinannya tidak lagi menjalankan dan meneruskan swadarmanya sebagai keturunan kapurusa, karena telah kawin keluar dan meneruskan swadarmanya di rumah suaminya/istrinya yang berkedudukan sebagai purusa. Purusa dalam hukum waris adat Bali dimaknai sebagai anak laki-laki dan/atau anak perempuan (sentana rajeg), yang akan mewarisi hak-hak maupun kewajiban-kewajiban pewaris. Pradana dalam hukum waris adat Bali dimaknai sebagai anak/keturunan laki-laki dan/atau perempuan yang ninggal kedaton/kawin keluar dan meninggalkan hak-hak maupun kewajiban-kewajiban yang ditinggalkan pewaris. (2) Pemaknaan purusa dan pradana oleh hakim dalam putusan pengadilan berkenaan dengan sengketa waris adat Bali, ternyata berbeda-beda. Sejumlah hakim memaknainya sesuai dengan pemaknaan dalam ajaran agama Hindu, v sejumlah hakim memaknai seperti pemaknaan dalam hukum waris adat Bali dan ada pula hakim yang memberi makna yang berbeda (tidak sebagaimana dalam ajaran agama Hindu maupun hukum waris adat Bali). (3) Implikasi pemaknaan purusa dan pradana dalam putusan hakim terhadap masa depan hukum waris adat Bali yaitu ada dua (2) implikasi yang ditimbulkan. Pertama, putusan hakim yang mengikuti amanat Pasal 5 ayat 1 Undang-Undang Republik Indonesia No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, cenderung memaknai purusa dan pradana sesuai dengan hukum agama Hindu dan hukum waris adat Bali, berimplikasi memberi penguatan dan memelihara serta menjaga keberlangsungan/eksistensi dan pelestarian nilai-nilai hukum waris adat Bali, sedangkan putusan hakim yang tidak mengikuti amanat Pasal 5 ayat 1 Undang-Undang Republik Indonesia No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, cenderung memaknai purusa dan pradana berbeda dengan agama Hindu dan hukum waris adat Bali, berimplikasi pada pelemahan hukum waris adat Bali yang dapat mengancam keberlangsungan/eksistensi dan pelestarian nilai-nilai hukum waris adat Bali. Dengan demikian penulis merekomendasi agar ditingkatkan kompetensi intelektual dan profesionalisme hakim serta diadakannya sosialisasi segera dan menyeluruh oleh para akademisi, Majelis Utama Desa Pakraman (MUDP), pemerintah daerah dengan dukungan Pemerintah Pusat kepada masyarakat adat Bali tentang makna purusa dan pradana kepada masyarakat adat Bali.
Item Type: | Thesis (Doctor) |
---|---|
Identification Number: | DIS/346.052/AGU/m/2016/061606124 |
Subjects: | 300 Social sciences > 346 Private law |
Divisions: | S2/S3 > Doktor Ilmu Hukum, Fakultas Hukum |
Depositing User: | Nur Cholis |
Date Deposited: | 04 Jan 2017 11:16 |
Last Modified: | 04 Jan 2017 11:16 |
URI: | http://repository.ub.ac.id/id/eprint/160452 |
Actions (login required)
View Item |