Erliati, NoviFebrianiNoor (2013) Perlindungan Hukum bagi Anak sebagai Korban Perkosaan (Studi di Pengadilan Negeri Malang dan Pengadilan Negeri Kepanjen). Magister thesis, Universitas Brawijaya.
Abstract
Penulisan ini membahas tentang perlindungan hukum bagi anak sebagai korban perkosaan di Pengadilan Negeri Malang dan Pengadilan Negeri Kepanjen. Hal ini dilatarbelakangi fenomena yang terjadi maraknya kasus kekerasan seksual (perkosaan) terhadap anak, yang mana dalam hal ini ditemukan banyak kasus di wilayah Malang dan Kepanjen. Anak sebagai korban perkosaan, sebagai pihak yang lemah dan dirugikan dalam terjadinya tindak pidana seharusnya mendapat perhatian dan perlindungan hukum. Hal ini karena negara berkewajiban memelihara keselamatan dan meningkatkan kesejahteraan warga negaranya. Perlindungan anak sebagai korban perkosaan dalam proses penyelesaian perkara pidana sangat penting bagi korban, keluarganya dan penanggulangan kejahatan serta bagi pelaku kejahatan itu sendiri. Bagi pelaku kejahatan, penjatuhan sanksi ganti rugi kepada korban (restitusi) akan mengembangkan tanggung jawab pelaku dan secara konkrit telah menghilangkan noda akibat perbuatannya, sehingga akan memudahkan pembinaan terhadap pelaku dalam lembaga pemasyarakatan. Kemudian bagi anak sebagai korban yang mengalami trauma perlu diberikannya rehabilitasi yang berguna untuk memulihkan kondisi kejiwaannya semula. Permasalahan dalam tesis ini adalah Pertama, bagaimana implementasi perlindungan hukum terhadap anak sebagai korban perkosaan? Kedua, bagaimana Bentuk perlindungan hukum yang ideal bagi anak sebagai korban perkosaan di masa depan? Penelitian ini menggunakan metode penelitian empiris, pendekatan yang digunakan yuridis sosiologi viktimologis. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer berupa wawancara dan data sekunder berupa data yang terkait dengan gambaran kasus perkosaan anak di PN Malang dan PN Kepanjen, peraturan perundang-undangan yang terkait dengan perlindungan anak, buku-buku referensi yang terkait dengan permasalahan yang dikaji,serta artikel, jurnal, maupun internet. Data yang terkumpul kemudian diolah dan dianalisa secara deskriptif analisis. Beberapa kelemahan dalam implementasi perlindungan hukum bagi anak sebagai korban perkosaan di PN Malang yaitu anak tidak mendapatkan ganti kerugian atas akibat yang diderita baik fisik maupun mental, anak tidak mendapatkan bantuan medis untuk perawatan secara fisik serta tidak mendapatkan rehabilitasi ketika anak mengalami ketraumaan. Walaupun secara normatif dalam pengaturan UU No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak pasal 64 ayat (3) dan UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA) pasal 90 tidak mengatur ganti kerugian, namun persoalan tersebut diatur ke dalam pasal 98 sampai dengan Pasal 101 KUHAP. Sedangkan di PN Kepanjen dalam hal medis sudah diberikan semaksimal mungkin karena di Kepanjen memiliki lembaga sosial yang dinamakan Pusat Pelayanan Terpadu Perlindungan Perempuan dan Anak (P2TP2A). Namun anak sebagai korban yang mengalami ketraumaan tidak direhabilitasi. Sementara rehabilitasi telah di atur dalam pasal 64 ayat (3) UU No. 23 tahun 2002 dan pasal 90 UU No. 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Bentuk perlindungan hukum yang ideal dalam memberikan perlindungan terhadap anak sebagai korban perkosaan, yang mana dilakukan secara preventif dan represif. Secara preventif dilakukan dengan pemberian sanksi pidana terhadap pelaku sebaiknya diberikan hukuman seberat-beratnya sesuai dengan motif pelaku, tujuan pelaku melakukan tindak pidana, cara pelaku melakukan tindak pidana dan motif korban. Pasal 81 (1) UU No.23 Tahun 2002 mengatur ketentuan pidana bagi pelaku yang melakukan persetubuhan di luar perkawinan dengan pidana minimum 3 tahun dan maksimum 15 tahun. Adanya pidana tambahan berupa ganti kerugian, Menuntut ganti rugi akibat suatu tindak pidana/kejahatan yang menimpa diri korban melalui cara penggabungan perkara perdata dengan perkara pidana (Pasal 98 sampai dengan Pasal 101 KUHAP). Hak ini diberikan guna memudahkan korban untuk menuntut ganti rugi pada tersangka/terdakwa. Kemudian dibentuknya lembaga yang berskala nasional pada masing-masing daerah untuk menampung anak yang menjadi korban tindak kekerasan seperti perkosaan. Sedangkan secara Represif diperlukan perlindungan hukum berupa pemberian restitusi dan kompensasi bertujuan mengembalikan kerugian yang dialami oleh korban baik fisik maupun psikis, sebagaimana diatur dalam pasal 98-101 KUHAP. Konseling diberikan kepada anak sebagai korban perkosaan yang mengalami trauma berupa rehabilitasi sebagaimana diatur dalam Pasal 64 (3) UU Perlindungan Anak, dan Pasal 90 UU SPPA. Pelayanan/bantuan medis, diberikan kepada korban yang menderita fisik, sebagaimana diatur dalam pasal 90 UU SPPA. Pemberian informasi, kemudian diperlukan perlindungan keluarga dan masyarakat untuk memberi dorongan dan motivasi pada korban dan tidak memberi penilaian buruk kepada korban.
English Abstract
This paper discussed about legal protection for children as rape victim in Pengadilan Negeri Malang and Pengadilan Negeri Kepanjen. This event was having background in phenomenon of sexual abuse (ravishment) toward child, in which was an accuring cases in Malang and Kepanjen. Children as rape victim, as the weak party and disadvantage in crime act should be getting attention and legal protection. This was because this nation has the obligation to maintain the safety and improving welfare of its citizen. Child protection as rape victim in process of resolving criminal cases is highly important for the victim, her family and crime deals for the criminal itself. For the defendant, compensation determination toward victim (restitution) would develop defendant`s responsibility and concretely removing shame of what he was doing, and thus it would give easier acces in conduct management of defendant within imprisonment. Children as the victim who experiencing trauma would necessary to receive rehabilitation in order to recover her original mental state. Problems in this thesis would be, First, how the implementation of the legal protection toward children as rape victim? Second, how the ideal form legal protection for the children as rape victim in the future? Research method is empirical with victimology sociology juridical approach. Data type includes primary and secondary. The primary data are obtained from interview, while the secondary data are the description of the sexually violated child cases administered at Malang State Court and Kepanjen State Court, the regulations related to child protection, reference books about the problem reviewed, and articles, journals, and internet-based documents. Data are processed and analyzed with descriptive analysis. Some weak points are observed in the implementation of legal protection for the sexually violated child in the case administered within Malang State Court. These disadvantages include lack of indemnification for the physical and mental consequences against the child, lack of medical assist for physical treatment for the child, and lack of rehabilitation for the child with trauma. Normatively, Act Np. 23 of 2002 on Child Protection through its Article 64 verse (3) and Act No.11 of 2012 on Child Criminal Proceeding System (SPPA- Sistem Peradilan Pidana Anak ) through its Article 90 have explained the indemnification, but the related issues are always procced with Article 98 to Aricle 101 of Criminal Code. Kepanjen State Court has attempted to provide maximum medical treatment because there is a social organization called Integrated Service Center for Woman and Children Protection (P2TP2A- Pusat Pelayanan Terpadu Perlindungan Perempuan dan Anak ). The victim child with trauma, however, may not rehabilitated. Meanwhile, rehabilitation is regulated through Article 64 verse (3) of Act No. 23 of 2002 and Article 90 of Act No. 11 of 2012 on Child Criminal Proceeding System. The ideal form legal protection for the children as rape victim in the future is through preventive and repressive protections. Preventive protection is given by providing the criminal sanction against the doer. Heavy punisment may be decided based on the motive of doer, the objective of doer who commits a crime, the method of doer in committing a crime, and the motive of victim. Article 81 (1) of Act No. 23 of 2002 highlights the crime provision for the doer who commits sexual intercourse outside matrial engagement and it subjects the doer with 3 years minimally or 5 years maximally of prison. Additional punishment may be in the form of indemnification. The sue of indemnification due to a crime/misdeed against the victim can be submitted by combining the civic case and the crime case (from Article 98 to Article 101 of Criminal Code). Such right for lawsuit will facilitate the victim to demand indemnification from the doer/the defedant. The national organization in each region may be founded to accommodate the child who is sexually violated, for example, in the case of rape. Repressive protection is given by searching for restitution and compensation to bring back the physical and psychological losses experienced by the victim, as stated within Articles 98-101 of Criminal Code. Counselling for the sexually violated child with trauma, followed by rehabilitation, is suggested by article 64 (3) of Child Protection victim, has been arranged in Article 90 of UU SPPA. The dissemination of information about the protection to the family and community can build a motivation for the victim to walk on the life and reduce the bad judgment against the victim.
Item Type: | Thesis (Magister) |
---|---|
Identification Number: | TES/362.883/ERL/p/041307080 |
Subjects: | 300 Social sciences > 362 Social problems of and services to groups of people > 362.8 Other groups of people |
Divisions: | S2/S3 > Magister Ilmu Hukum, Fakultas Hukum |
Depositing User: | Endro Setyobudi |
Date Deposited: | 12 Mar 2014 11:52 |
Last Modified: | 12 Mar 2014 11:52 |
URI: | http://repository.ub.ac.id/id/eprint/157165 |
Actions (login required)
![]() |
View Item |