Fungsi dan Kedudukan Mediasi dalam Perkara Perdata di Peradilan Umum dengan Adanya Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2008

Yatini (2011) Fungsi dan Kedudukan Mediasi dalam Perkara Perdata di Peradilan Umum dengan Adanya Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2008. Magister thesis, Universitas Brawijaya.

Abstract

Dalam mewujudkan tujuan peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan, dan menyeleseikan penumpukan perkara di Mahkamah Agung, maka Mahkamah Agung sebagai penyelenggara peradilan tertinggi di Indonesia mulai menggagas beberapa metode untuk mempersingkat proses penyelesaian sengketa di pengadilan. Salah satu gagasan tersebut adalah dengan mengintegrasikan lembaga mediasi ke dalam lembaga litigasi. Adanya integrasi mediasi ke pengadilan menimbulkan dualisme fungsi pengadilan yaitu lembaga peradilan sebagai lembaga mediasi dan lembaga peradilan, dan dualisme fungsi hakim karena sebagai organ peradilan dan sebagai perangkat mediator dalam mediasi. Kedudukan mediasi sebagai sebuah lembaga nonlitigasi yang merupakan bagian dari ADR ( Alternatif Dispute Resolution ) berdasarkan Pasal 6 Undang-undang nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternative Penyelesaian Sengketa, maka mediasi adalah suatu lembaga tersendiri di luar peradilan dan bukan di dalam pengadilan ( bukan bagian dari hukum acara perdata) diperkuat dengan Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, disini mediasi berfungsi sebagai the first resort dan lembaga litigasi sebagai the last resort . Proses mediasi pada awalnya diatur dalam Pasal 130 HIR/Pasal 154 RBg. Yang mengamanatkan bahwa sebelum perkara diperiksa, hakim harus menganjurkan supaya para pihak menempuh proses perdamaian terlebih dahulu. Pasal 130 HIR/Pasal 154 RBg memang tidak mengatur secara rinci mengenai prosedur perdamaian dimaksud, namun karena undang-undang memberikan tugas tersebut kepada hakim yang menyidangkan perkaranya, maka hakim secara ex oficio melekat kewenangan hakim terhadap upaya perdamaian. Adanya PERMA Nomor 1 Tahun 2008, hanya menambah keruwetan lembaga peradilan sebagai lembaga litigasi. Mahkamah Agung sebagai lembaga peradilan tertinggi dan sebagai lembaga yudikatif, memiliki kewenangan membuat peraturan pada saat terjadi kekosongan hukum. Akan tetapi hanya bersifat teknis demi memperlancar jalannya proses peradilan. Perma Nomor 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan sebagai penjabaran dari pasal 130 HIR/Pasal 154 RBg,terdapat perubahan yang sangat fundamental. Perubahan tersebut adalah sifat dari mediasi di pengadilan adalah wajib, bilamana mediasi tidak dilaksanakan mengakibatkan putusan batal demi hukum. Hal ini sudah melampaui kewenangan Mahkamah Agung. Keberadaan PERMA sendiri di dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tidak tercantum di dalam hirarkhi perundang-undangan, tetapi keberadaannya tetap diakui. Keberadaan PERMA menjadi tidak jelas masuk dalam hirarkhi yang mana, dari beberapa pendapat PERMA terletak di bawah undang-undang. Mengingat PERMA Nomor 1 Tahun 2008, adanya konsekwensi hukum “putusan batal demi hukum” maka Peneliti berpendapat bahwa, PERMA tersebut telah melampaui kewenangan Mahkamah Agung dan tidak sesuai dengan hirarkhi perundang-undangan. Kalau dianalisis dengan teori dari Hans Kelsen dan Hans Nawiasky maka tidak terjadi kesesuaian. Rekomendasi yang diajukan adalah pengadilan harus dikembalikan pada kedudukan yang sesungguhnya dan fungsi peradilan sebagai lembaga pressure valve ,sebagai penjaga kemerdekaan masyarakat, dianggap pula sebagai wali masyarakat, juga dianggap sebagai pelaksana penegakan hukum. Sehubungan dengan itu tempat dan kedudukan peradilan masih dihargai sebagai fungsi badan atau institusi yang memiliki fungsi istimewa, dalam kedudukan yang istimewa demikian, putusan yang dijatuhkan pengadilan diibaratkan seperti putusan Tuhan. Sedangkan mediasi hendaknya berada di luar peradilan. Mahkamah Agung sebagai lembaga peradilan tertinggi dan sebagai lembaga yudikatif hendaknya mampu menempatkan peraturannya dengan benar tanpa harus menciptakan konflik hukum di internal maupun di eksternal dunia peradilan.

English Abstract

In order to accomplish simple, cost and time efficient judicial process, as well as to solve piling cases in Supreme Court, therefore Supreme Court as the highest judicial administrator in Indonesia has started to initiate several methods to shorten dispute resolution process in court. One of the methods is by integrating mediation institution into litigation institution. This integration causes dualism of court`s functions; court as mediation institution and court, and dualism of judge`s functions as court`s arm and mediator in mediation. The position of mediation is as a nonlitigation institution that is part of ADR (Alternative Dispute Resolution) based on Article 6 Law Number 30 Year 1999 on Arbitration and Alternative Dispute Resolution. Thus mediation is an independent institution outside court and not inside court (not part of the Code of Civil Procedure) strengthened by the Law of Judicial Powers Number 48 Year 2009 on Judicial Powers. Based on this law, mediation functions as the first resort and litigation institution is as the last resort. The mediation process is initially regulated in Article 130 HIR/ Article 154 RBg. It mandates that before a case put on trial, judge has to advise the parties involved to first go on peaceful settlement. Article 130 HIR/ Article 154 RBg indeed does not give detail procedures of peaceful settlement. However, as the law entitles such task to the judge who brings the case into trial, therefore, by ex oficio the authority is then attached to the judge to initiate peaceful settlement. The existance of Supreme Court Regulation Number 1 Year 2008 only creates complexities of judicial institution as litigation institution. Supreme Court as a highest judicature institution and as a judicial institution does have authority to make regulation during the absence of law. However, it is only for technical things in order to smoothen judicial process. The Supreme Court Regulation Number 1 of 2008 on the Mediation Procedures in courts as the elucidation of Article 130 HIR/ Article 154 RBg contains a significant fundamental change. The change is a characteristic of mediation that is obligatory, whenever mediation is not implemented thus the decision is rescinded. This in fact is beyond Supreme Court`s authority. The existence of Supreme Court Regulation itself in Law Number 10 Year 2004 is not enumerated on the hierarchy of laws, however its existence is still acknowledged. The existence of Supreme Court Regulation becomes unclear in which hierarchy. According to some opinions it is under the law. Considering that Supreme Court Regulation Number 1 of 2008 has legal consequence of “decision is rescinded”, therefore, the researcher argues that the Supreme Court Regulation has overstepped Supremet Court`s authority and is not suitable with the hierarchy of laws. Analysed by using theory of Hans Kelsen and Hans Nawiasky, thus there is no compatibility. Proposed recommendation is that court must be restored to its real position and judicial function as pressure valve institution, as the guardian of people`s independence, also acts as people`s representative and law enforcement upholder. Related to this, the place and position of judicature are still respected as an institution with special function and position, by which its decision is considered as God`s decision. Mediation should be indeed placed outside court. Supreme Court as the highest judicature and judicial institution ideally should be able to place its regulations correctly without creating legal conflicts both in internal and external judicature world.

Item Type: Thesis (Magister)
Identification Number: TES/347.035/YAT/f/041103248
Subjects: 300 Social sciences > 347 Procedure and courts
Divisions: S2/S3 > Magister Ilmu Hukum, Fakultas Hukum
Depositing User: Endro Setyobudi
Date Deposited: 09 Nov 2011 13:03
Last Modified: 09 Nov 2011 13:03
URI: http://repository.ub.ac.id/id/eprint/156728
Full text not available from this repository.

Actions (login required)

View Item View Item