Muharikin, IrfanMaulana (2015) Kedudukan Saksi Mahkota Dalam Proses Peradilan Pidana Di Indonesia Berdasarkan Asas Non Self Incrimination. Sarjana thesis, Universitas Brawijaya.
Abstract
Pada skripsi ini, penulis mengangkat permasalahan mengenai Kedudukan Saksi Mahkota Dalam Proses Peradilan Pidana di Indonesia Berdasarkan Asas Non Self Incrimination. Pilihan judul ini dilatar belakangi oleh kegundahan penulis terkait kedudukan saksi mahkota dalam proses peradilan pidana di Indonesia. Penggunaan saksi mahkota dalam proses peradilan pidana adalah suatu hal yang lazim. Namun seringkali aparat penegak hukum lalai dalam memperhatikan hak-hak asasi terhadap tersangka atau terdakwa. Pada dasarnya, saksi mahkota diartikan sebagai tersangka atau terdakwa yang diberikan beban untuk menerangkan perbuatan yang dilakukan dalam berkas terpisah yang menjadikannya seorang saksi. Beban ini yang menjadikan seorang tersangka atau terdakwa dalam keadaan tertekan. Hal ini termaktub dalam Pasal 14 Ayat (3) huruf g Undang-undang Nomor 12 Tahun 2005 Tentang Pengesahan The International Convenant On Civil Right, seorang tersangka atau terdakwa tidak dipaksa untuk memberikan kesaksian yang memberatkan dirinya, atau dipaksa mengaku bersalah. Padahal jika melihat tujuan dibentuknya KUHAP adalah memberikan jaminan perlindungan terhadap hak-hak tersangka atau terdakwa. Berdasarkan hal tersebut, agar pembahasan ini dapat tersusun secara sistematis, maka penulis mengangkat dua rumusan masalah : (1) Bagaimana pengaturan saksi mahkota dalam proses peradilan di Indonesia? (2) Bagaimana kedudukan saksi mahkota apabila ditinjau berdasarkan asas non self incrimination? Dalam penulisan karya ilmiah ini penulis menggunakan metode yuridis normatif dengan metode pendekatan perundang-undangan (statue approach) dan metode pendekatan konseptual (conseptual approach). Bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan tersier yang diperoleh oleh penulis, selanjutnya diinvetarisasi, diklasifikasi, dan dianalisis dengan menggunakan analisis sistemis x (systemis analysis) hal ini bertujuan untuk menguraikan permasalahan, sehingga didapatkan kesimpulan yang tepat, guna menjawab rumusan masalah mengenai kedudukan saksi mahkota dalam proses peradilan pidana di Indonesia berdasarkan asas non self incrimination. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh penulis, maka jawaban atas rumusan masalah yang diangkat adalah dalam praktik, saksi mahkota merupakan penerapan Pasal 142 KUHAP yang antara tersangka atau terdakwa yang satu dengan yang lain dipisahkan berkas perkaranya (splitsing) atau dengan kata lain tidak dijadikan dalam satu berkas perkara. Hal ini dilakukan karena tindak pidana dilakukan oleh lebih dari satu orang, sehingga memenuhi sebagai delik penyertaan yang diatur dalam Pasal 55 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dan minimnya alat bukti dalam melakukan tindak pidana. Konsekuensi atas pemisahan berkas perkara, mengakibatkan masing-masing tersangka atau terdakwa disidangkan secara tersendiri, yang mana terdakwa yang satu memberikan kesaksian dalam persidangan terdakwa lainnya begitu pula sebaliknya. Untuk pembuktian, keterangan saksi mahkota disamakan dengan alat bukti keterangan saksi karena saksi mahkota yang diambil dari salah seorang tersangka atau terdakwa menerangkan perbuatan yang dilakukan oleh saksi bersama terdakwa dalam suatu tindak pidana, kemudian saksi mahkota dalam memberi keterangan dipersidangan sebagai saksi disumpah, dan dalam setiap surat tuntutan (requisitor) yang dibuat oleh jaksa penuntut umum keterangan saksi mahkota di tempatkan dalam bagian fakta persidangan dalam point keterangan saksi. Penggunaan saksi mahkota dalam proses peradilan sudah lazim dilakukan, namun kondisi demikian tidak berarti bahwa jaksa penuntut umum dapat begitu saja menghadirkan saksi mahkota di muka persidangan. Penggunaan saksi mahkota dengan mekanisme (splitsing) dalam proses pembuktian di sidang pengadilan bertentangan dengan asas non self incrimination yang secara tersirat tercermin secara parsial melalui beberapa pasal yaitu Pasal 66 KUHAP bahwa tidak ada beban kewajiban pembuktian bagi terdakwa (beban pembuktian menjadi kewajiban penuntut umum), Pasal 175 KUHAP yang meyiratkan adanya hak ingkar bagi terdakwa, Pasal 189 ayat (3) KUHAP bahwa keterangan xi terdakwa hanya dapat dipergunakan bagi dirinya sendiri, dan tidak adanya pengakuan terdakwa sebagai alat bukti yang sah sebagaimana diatur dalam Pasal 184 KUHAP, serta Pasal 168 KUHAP mengenai pengecualian yang bersifat relatif untuk menjadi saksi. Pasal 199 dan Pasal 200 Rancangan KUHAP versi Januari 2009 memberikan suatu jawaban yakni suatu konsep yang hampir sama dengan hukum di Amerika Serikat yang mengizinkan pengurangan masa hukuman penjara bagi terdakwa yang bekerja sama sewaktu penyidikan dan penuntutan jika ia telah mengaku bersalah melalui plea bargaining system. Konsep ini tidak melanggar asas non self incrimination karena tersangka atau terdakwa mengakui secara sukarela mengenai tindak pidana yang dilakukannya bersama-sama dengan tersangka atau terdakwa lainnya dan ia diberikan keringanan hukuman bahkan dibebaskan dari penuntutan jika peranannya dianggap paling ringan.
English Abstract
In this thesis, the author raised the issue concerning The Position of The Crown Witnesses in The Criminal Justice Process in Indonesia Based on The Principle of The Non Self Incrimination. The choice of this title was based on the sense of doleful the author which is related with the crown witness related of the criminal justice in the process in Indonesia. The use of a crown witness in the criminal justice process is a common thing. But law enforcement officials often negligent in regard to the rights of the suspect or defendant. Basically, a crown witness or defendant who are defined as a suspect given the burden to explain a deed made in separate documents made it a witness. This burden who made a suspect or defendant in a state of depressed. It is embodied in Article 14 of Paragraph (3) letter g the law number 12 of 2005 regarding the ratification of the international Convenant on Civil Rights (ICCPR). If we look at the purpose of the establishment Criminal Procedure Code (KUHP) is give assurance protection against the rights of suspects or the defendant. Based on it, to make the discussion can be arrayed systematically, hence the author raised two formulation of issues : (1) What about the regulation of the crown witness in the proceedings in Indonesia? (2) What about the position of the crown witness if the review is based on the principle of non self-incrimination? In this scientific writing, the author use the normative-legislative approach method statue approach and conseptual approach. Primary legal materials, secondary and tertiary legal materials obtained by the author, then in inventory, classified, and analyzed using systemic. It aims to describe the problems, so we get a proper conclusion, in order to answer the issue on the positions of the crown witness in the criminal justice process in Indonesia based on the principle of non self-incrimination. xiii Based on the results of research conducted by the author, then the answers to the issues raised in practice, the crown witness is the application of Article 142 of the Criminal Procedure Code (KUHP) which is between a suspect or accused each other had a separated docket splitsing, in other word not be made in one docket. It was done because the offenses are committed by more than one person, so it qualifies as inclusion offense under Article 55 of the Criminal Law (Criminal Code) and the lack of evidence in a criminal offense. A consequence of the separation of the docket , resulting in each of the suspects or the defendant tried in of its own , that which the defendant that one give testimony in the trials other defendants vice versa. To verification, explanation of the crown witness likened to evidence of witness, because the crown witness who taken from one of the suspect or the defendant said that the deed that are done by a witness with a defendant in an a criminal act, then the crown witness in giving information to testify as a witness in the trial of being sworn and in any letter requisitor demands made by public prosecutors, the explanation of the crown witness placed on part of fact point of the testimony of a witness. The use of crown witnesses in the judicial process is customarily conducted , but these conditions does not mean that public prosecutors can be presented witnesses crown court in advance. The use of the crown with a mechanism splitsing witness in the process of proof in court as opposed to the principle of incrimination non self that is implied reflected in partial through some of the article is article 66 (KUHAP) the burden of proof that there is no obligation for the defendant ( the burden of proof ) obligations of prosecutors, Article 175 Criminal Procedure Code which implies their right of refusal for the defendant, Article 189 paragraph (3) Criminal Procedure Code that the testimony of the defendant may be used only for himself, and the absence of recognition of the defendant as valid evidence as provided for in Article 184 Criminal Procedure Code, and Article 168 of the Criminal Procedure Code exceptions that are relative to a witness. Article 199 and article 200 Criminal Procedure Code draft (R-KUHAP) version of January 2009 give an answer which is a concept that almost the same with the law in the united states that allow the reduction of the prison sentence for a defendant who worked during the investigation and prosecution if he has pleaded guilty xiv through plea bargaining system. This concept does not violate the principle of non self incrimination because the suspect or the defendant admitted voluntarily on crimes that he did together with the suspect or other defendants and he granted lightening a penalty even exempt from prosecution if role is considered the most lightly.
Item Type: | Thesis (Sarjana) |
---|---|
Identification Number: | SKR/FH/2015/105/ 051503241 |
Subjects: | 300 Social sciences > 340 Law |
Divisions: | Fakultas Hukum > Ilmu Hukum |
Depositing User: | Kustati |
Date Deposited: | 18 May 2015 11:03 |
Last Modified: | 18 May 2015 11:03 |
URI: | http://repository.ub.ac.id/id/eprint/112118 |
Actions (login required)
View Item |