YustisiaIftitaDatuAurora (2008) Sinkronisasi antara Perjanjian Sanitary dan Phitosanitary (SPS) Wolrd Trade Organization (WTO) dengan Undang-Undang No. 7 tahun 1996 tentang Pangan. Sarjana thesis, Universitas Brawijaya.
Abstract
Dalam penulisan skripsi ini penulis membahas mengenai Sinkronisasi antara Perjanjian Sanitary dan Phitosanitary (SPS) Wolrd Trade Organization (WTO) dengan Undang-Undang No. 7 tahun 1996 tentang Pangan , Hal ini dilatar belakangi oleh kondisi keamanan pangan di Indonesia yang masih sangat rendah, banyak bahan pangan impor yang masuk yang membahayakan kesehatan manusia dan berbahaya bila dikonsumsi atau terinfeksi penyakit berbahaya seperti sapi gila, penyakit mulut dan kuku (PMK) pada ternak. Juga gagalnya produk pangan Indonesia masuk ke beberapa negara karena tidak memenuhi standarisasi yang harus dipenuhi. Padahal Indonesia telah menjadi anggota WTO dan meratifikasi perjanjian Sanitary dan Phytosanitary (SPS) yang memberikan hak kepada setiap negara anggota untuk menciptakan standarisasi bagi pangan yang masuk kenegaranya dan juga membentuk tata aturan nasional untuk menjalankan perjanjian tersebut melalui Undang-Undang No. 7 Tahun 1996 tentang Pangan. Maka timbul pertanyaan bagaimana sinkronisasi antara kedua peraturan ini dalam menciptakan keamanan pangan khususnya di Indonesia. Dalam upaya mengetahui pengaturan mengenai keamanan pangan dalam perjanjian SPS dan Undang-Undang No.7 tahun 1996 dan letak sinkronisasi antara keduanya, maka metode pendekatan yang dipakai adalah yuridis normatif untuk mengkaji serta menganalisis permasalahan yang ditetapkan dengan menggunakan metode analisis isi, yaitu dengan cara interpretasi komparatif dan metode perbandingan hukum untuk membandingkan kedua peraturan yaitu Perjanjian SPS dan Undang-Undang No. 7 tahun 1996. Berdasarkan hasil penelitian, penulis memperoleh jawaban atas permasalahan yang ada, bahwa pengaturan tentang keamanan pangan yang ada dalam SPS adalah pengaturan yang bersifat global, dimana kondisi tersebut ditetapkan sama untuk semua negara anggota dan memberikan hak sepenuhnya kepada masing-masing negara anggota untuk menetapkan standarisasi sendiri bagi pangan yang masuk kenegaranya sesuai dengan standarisasi internasional. Dalam Undang-Undang no 7 tahun 1996 pengaturan yang diberikan lebih bersifat teknis dan menyesuaikan dengan kondisi Indonesia yang menyangkut pula masalah gizi masyarakat dan peningkatan ketahanan pangan dan juga dilengkapi dengan sanksi pidana dan ganti rugi bagi pihak yang melanggar ketentuan didalamnya. Secara garis besar kedua peraturan ini sudah memiliki sinkronisasi dalam hal pengaturan keamanan pangan dan Undang-Undang No 7 tahun 1996 sudah melaksanakan inti dari perjanjian SPS, tetapi pengaturan yang diberikan bebeda mengingat kapasitas Perjanjian SPS sebagai perjanjian Internasional dan Undang-Undang No 7 tahun 1996 sebagai peraturan nasional. Menyikapi fakta-fakta tersebut di atas, maka perlu kiranya bagi Indonesia untuk melakukakan penataan struktur dan kultur hukum sebelum meratifikasi sebuah perjanjian Internasional agar pengaturan dalam sebuah perjanjian internasional yang kemudian dilaksanakan melalui peraturan nasional berupa undang-undang dapat dilaksanakan dengan baik di Indonesia.
Item Type: | Thesis (Sarjana) |
---|---|
Identification Number: | SKR/FH/2008/137/050801850 |
Subjects: | 300 Social sciences > 340 Law |
Divisions: | Fakultas Hukum > Ilmu Hukum |
Depositing User: | Unnamed user with email repository.ub@ub.ac.id |
Date Deposited: | 29 Jul 2008 10:39 |
Last Modified: | 18 Oct 2021 11:59 |
URI: | http://repository.ub.ac.id/id/eprint/110033 |
Preview |
Text
050801850.pdf Download (2MB) | Preview |
Actions (login required)
View Item |