Kewenangan Komisi Yudisial dalam melakukan Pengawasan terhadap Hakim Agung Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-IV/2006

YockyEkoWicaksono (2007) Kewenangan Komisi Yudisial dalam melakukan Pengawasan terhadap Hakim Agung Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-IV/2006. Sarjana thesis, Universitas Brawijaya.

Abstract

Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menghapuskan peran Komisi Yudisial (KY) untuk melakukan pengawasan hakim perlu direnungkan. Tanpa perlu menimbulkan kontroversi pro-kontra, posisi Mahkamah Konstitusi sudah jelas. Sebelum Komisi Yudisial memasang kacamata pengawasan, rumuskan dulu “judicial ethics” tersebut. Karena pengawasan paling utama bukanlah pengawasan eksternal, tetapi moral, etika, dan intergritas hakim-hakim itu sendiri. Tidaklah berlebihan, karena pada umumnya di banyak negara, Ketua Mahkamah Agung secara ex-officio juga merupakan Ketua Komisi Yudisial. Memang secara universal “judicial ethics” menjadi bagian tak terpisahkan dan telah dijadikan norma pengadilan di dalam menangani perkara-perkara. Oleh karena itu, dalam penulisan ini, penulis mencoba menganalisa batasan-batasan kewenangan Komisi Yudisial dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta menjaga perilaku hakim baik sebelum Putusan Mahkamah Konstitusi No. 005/PUU-IV/2006 maupun sesudah Putusan tersebut. Putusan tersebut selain memberikan suatu akibat hukum secara langsung terhadap pasal-pasal dalam Undang-undang No. 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial, juga memberikan implikasi hukum terhadap sistem ketatanegaraan khsusnya dalam lingkup Kekuasaan Kehakiman. Melalui penelitian ini, penulis mencoba merumuskan lembaga mana yang seyogyanya melakukan pengawasan secara eksternal terhadap Hakim Agung. Karena pentingnya upaya menegakan kehormatan, keluhuran martabat, dan perilaku hakim itu, maka diperlukan lembaga yang tersendiri yang bersifat mandiri agar pengawasan yang dilakukannya dapat efektif. Sistem pengawasan internal saja seperti yang sudah ada selama ini, yaitu adanya majelis kehormatan hakim tidak terbukti efektif dalam melakukan pengawasan. Karena itu, dalam rangka perubahan UUD 1945, diadakan lembaga tersendiri yang bernama Komisi Yudisial. Pembentuk undang-undang dapat saja menentukan bahwa untuk kepentingan pembinaan bertahap dan untuk kepentingan jangka panjang berdasarkan pertimbangan teleologis bahwa di masa depan apabila seluruh Hakim Agung sudah merupakan produk rekruitmen oleh KY maka untuk pengawasan cukuplah bagi KY mengurusi perilaku etik para hakim di bawah hakim agung. Namun sebaliknya, jika undang-undang menentukan bahwa Hakim Agung termasuk ke dalam pengertian hakim yang perilaku etiknya diawasi oleh KY secara eksternal, sebagaimana telah dijelaskan dalam uraian di atas, maka hal itu pun tidak bertentangan dengan UUD 1945. Apalagi, para hakim agung yang ada sekarang juga tidak direkrut berdasarkan ketentuan baru yang melibatkan peran KY sebagaimana ditentukan dalam UUD 1945. Pilihan kebijakan hukum yang demikian, menurut Mahkamah Konstitusi, juga tidak bertentangan dengan UUD 1945. Dengan demikian, terpulang kepada pembentuk undang-undang, yaitu DPR bersama dengan Presiden, untuk menentukan kebijakan hukum yang akan dipilih dalam rangka menjalankan perintah Pasal 24B ayat (1) UUD 1945.

Item Type: Thesis (Sarjana)
Identification Number: SKR/FH/2007/050702818
Subjects: 300 Social sciences > 340 Law
Divisions: Fakultas Hukum > Ilmu Hukum
Depositing User: Unnamed user with email repository.ub@ub.ac.id
Date Deposited: 24 Oct 2007 00:00
Last Modified: 28 Oct 2021 06:20
URI: http://repository.ub.ac.id/id/eprint/109851
[thumbnail of 050702818.pdf]
Preview
Text
050702818.pdf

Download (2MB) | Preview

Actions (login required)

View Item View Item