EkoRinawan (2006) Perspektif Pengaturan Pidana Cambuk Dalam Penyusunan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Di Masa Depan. Sarjana thesis, Universitas Brawijaya.
Abstract
Pidana cambuk merupakan salah satu jenis pidana yang sifatnya menderitakan secara fisik. Munculnya banyak kontra berkenaan dengan keberadaannya dikarenakan pidana cambuk dianggap cenderung merendahkan martabat manusia dan menjadi hak setiap orang untuk bebas dari penyiksaan. Penulisan ini bertujuan untuk memahami realitas norma berkenaan dengan pengaturan pidana cambuk dalam qanun atau perda di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, kemudian memaparkan bagaimana kelemahan dan keuntungan dari pengaturan pidana cambuk sebagai hukum positif, lalu mengkaji perpspektif pengaturan pidana cambuk tersebut di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) di masa depan sebagai salah satu jenis pidana alternatif yang dapat dijatuhkan oleh hakim. Pengaturan pidana cambuk saat ini dilaksanakan di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam dengan adanya ketentuan Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Propinsi Daerah Istimewa Aceh serta Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Propinsi Daerah Istimewa sebagai Propinsi NAD, yang memungkinkan bagi NAD untuk menjalankan pemerintahannya sendiri beserta ketentuan hukum berdasarkan syariat Islam. Maka, muncullah berbagai qanun yang mengatur jenis sanksi pidana berupa pidana cambuk. Adapun hukum pidana formilnya diatur dalam ketentuan Peraturan Gubernur Aceh Nomor 10 Tahun 2005 tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Hukum Cambuk. Pidana cambuk ini dirasakan mampu menjerakan terpidananya karena menimbulkan efek malu yang lebih besar, meresosialisasi terpidana dalam masyarakat serta diharapkan mampu menurunkan angka kriminalitas. Dalam RUU KUHP tahun 2004 dimungkinkan untuk dilaksanakan pemidanaan dengan menggunakan kewajiban adat setempat atau dengan kewajiban berdasarkan hukum yang hidup dalam masyarakat. Namun, pidana yang dijatuhkan hanya bersifat fakultatif, dengan tetap mengutamakan penjatuhan pidana pokok yang telah diatur. Keistimewaan pidana tambahan berupa kewajiban adat atau menjalankan kewajiban atas hukum yang hidup di masyarakat adalah untuk mengembalikan kestabilan kondisi kehidupan dan psikologis masyarakat yang terganggu oleh adanya suatu tindak pidana. Ini berarti hukum cambuk apabila menjadi satu kesatuan kekhasan suatu masyarakat, dimungkinkan untuk dipakai sebagai pemidanaan bagi anggota masyarakat adat yang telah melakukan pelanggaran hukum. Pada pasal 1 ayat (3) memberikan dasar hukum yang kuat terhadap hukum yang tidak tertulis yang hidup dalam masyarakat mengenai berlakunya hukum pidana adat. Hal ini semata-mata untuk memenuhi rasa keadilan yang hidup di dalam masyarakat tertentu. Sedangkan dalam pasal 1 ayat (4) menempatkan hukum cambuk sebagai sumber hukum materiil. Jadi hakim memiliki wewenang untuk mengali hukum yang hidup dalam masyarakat dan menjatuhkan vonis pidana berdasarkan keyakinannya.
Item Type: | Thesis (Sarjana) |
---|---|
Identification Number: | SKR/FH/2006/184/050602583 |
Subjects: | 300 Social sciences > 340 Law |
Divisions: | Fakultas Hukum > Ilmu Hukum |
Depositing User: | Unnamed user with email repository.ub@ub.ac.id |
Date Deposited: | 15 Jun 2009 10:40 |
Last Modified: | 28 Oct 2021 02:53 |
URI: | http://repository.ub.ac.id/id/eprint/109682 |
Preview |
Text
050602583.pdf Download (2MB) | Preview |
Actions (login required)
View Item |