Studi tentang Polimorfisme dan Performan Ulat Sutera F1 Hibrid Hasil Persilangan Ras Jepang dan Ras Cina yang Berasal dari Pusat Pembibitan Soppeng dan Temanggung

Cholis, Nur (2009) Studi tentang Polimorfisme dan Performan Ulat Sutera F1 Hibrid Hasil Persilangan Ras Jepang dan Ras Cina yang Berasal dari Pusat Pembibitan Soppeng dan Temanggung. Magister thesis, Universitas Brawijaya.

Abstract

Di Indonesia, terdapat dua pusat pembibitan ulat sutera yang besar, yaitu Soppeng Sulawesi Selatan dan Temanggung Jawa Tengah. Keduanya, yang menggunakan hasil persilangan Ras Jepang dan Ras Cina, menyuplai sebagian besar kebutuhan bibit ulat sutera di Indonesia. Di lapangan diketahui ada perbedaan performan antara keduanya tetapi belum ada penelitiannya. Walaupun menggunakan ras tetua yang sama, kemungkinan terdapat perbedaan proporsi persilangan dan lingkungan yang menyebabkan adanya polimorfisme. Oleh karena itu perlu ada penelitian tentang hal tersebut. Penelitian ini dilaksanakan dalam dua tahap. Tahapan fenotipik (Agustus – Desember 2006) dilakukan di Ds.Kebobang Kec.Wonosari Kab.Malang (870 m dpl) dan di Ds.Ceweng Kec.Diwek Kab.Jombang (70 m dpl). Seluruh peneltian mengunakan materi satu kotak telur (berisi 2000 butir) dari masing-masing pusat pembibitan. Data dari peubah yang diamati, berat kokon basah (BKB) dan berat kulit kokon (BKK), dianalisis dengan Uji t (Arikunto, 1983). Tahapan genotipik (2007) melalui analisis sampel di Lab. Biokimia FMIPA Univ. Brawijaya Malang. Sampel diambil dari bagian thoraks ulat sutera instar 5. Untuk mengetahui pola pita genetik, dipakai metode RFLP (Restriction Fragment Length Polymorphism) dengan mengggunakan enzym restriksi Pst1, EcoR1 dan Sau3A1. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui: 1) pengaruh asal bibit terhadap penampilan produksi, 2) pengaruh ketinggian tempat terhadap penampilan produksi dan 3) pengaruh asal bibit terhadap karakteristik genetik (polimorfisme). Hasil analisis statistika menunjukkan bahwa di kedua tempat pemeliharaan, BKB dan BKK ulat sutera asal Soppeng lebih baik (P 0,05) dibanding Temanggung. Kemungkinan penyebabnya adalah aktifitas kelenjar sutera yang lebih produktif dalam menghasilkan serat, kemampuan adaptasi terhadap lingkungan termasuk efisiensi penggunaan zat-zat nutrisi dari pakan yang dikonsumsi dan pertumbuhannya. Ulat sutera, baik yang berasal dari Soppeng maupun Temanggung, mempunyai BKB dan BKK lebih baik (P 0,01) bila dipelihara di dataran tinggi, karena merupakan tempat ideal untuk pemeliharaan. Berdasarkan hasil running DNA metode RFLP dengan enzim restriksi Pst1 dan EcoR1, tidak ditemukan adanya perbedaan fragmen potongan DNA, baik antar pusat pembibitan maupun polimorfisme genetik pada masing-masing pusat pembibitan. Hal ini kemungkinan terjadinya mutasi berada posisi/susunan DNA yang tidak bisa dikenali oleh kedua ensim tersebut (Anonimous, 2008), Namun tidak demikian halnya ketika menggunakan enzim restriksi Sau3A1. Walaupun tidak ditemukan adanya polimorfisme pada masing-masing pusat pembibitan, namun dengan Sau3 terpotong pita DNA untuk ulat sutera asal Temanggung pada fragmen 1700 bp dan 2154 bp, sementara yang dari Soppeng terpotong pita DNAnya pada fragmen 1031 bp dan 2154 bp. Dapat disimpulkan bahwa 1) Ulat sutera hasil persilangan ras Jepang dan ras Cina yang berasal dari pusat pembibitan Soppeng lebih baik penampilan produksinya dibandingkan dengan yang berasal dari Temanggung, 2) Penampilan produksi ulat sutera dari kedua pusat pembibitan yang dipelihara pada dataran tinggi lebih baik dibandingkan dengan yang di dataran rendah dan 3) Dengan enzim Pst1 dan EcoR1 yang digunakan dalam penelitian ini, tidak terdeteksi adanya polimorfisme. Polimorfisme terdeteksi bila menggunakan enzim Sau3A1. Ulat sutera yang berasal dari pusat pembibitan Soppeng memiliki susunan genetik yang berbeda dengan ulat sutra yang berasal dari pusat pembibitan Temanggung. Perlu penelitian lebih lanjut pada DNA ulat sutera yang ada di Indonesia dengan menggunakan enzim restriksi yang mempunyai sisi pemotongan yang tepat.

English Abstract

re are two centres of silkworm breeding sites in Indonesia, Soppeng- South Sulawesi and Temanggung-Central Java. Both, using crossing of Japan and China strain, supplies almost all needs of silkworm eggs in Indonesia. Based on field observation, re are diffference performances between m but not yet proved scientificaly. re might be difference proportion of parenstock and environment which causing polymorphism. This experiment done in two stages. Phenotypic stage (August-December 2006) was done in Kebobang Vil., Wonosari Subdistrict, Malang Regency (870 m sal) and in Ceweng Vil., Diwek Subdistrict, Jombang Reg. (70 m sal). whole experiment used one box silkworm egg (2000 egg) each from Soppeng and Temanggung Breeding sites. variables oberved were wet coccon weight (WCW) and coccon shell weight (CSW). Data was analyze by t- Test. Genotypic stage (2007) was a sample analysis in Biochemistry Laboratory of Science Faculty of Brawijaya University, Malang, using thorax part of silkworm of instar 5. To know genetic band pattern, RFLP methode was applied by using restriction enzyme of Pst1, EcoR1 and Sau3A1. purposes of this experiment were to know: 1) efect of silkworm egg origin to performance, 2) effect rearing place height to performance and 3) effect of silkworm origin to genetic characteristics (polymorphism). Statistical analysis result showed that in both rearing places, WCW and CSW of silkkworm originated from Soppeng was better (P 0,005) than Temanggung. causes may be activity of silkgland was more productive, adaptation ability to environment was better included efficiency of using of feed nutrition and growth. silkworm of both breeding sites had better (P 0,01) WCW and CSW if rearing in upland, because it was ideal place for silkworm to live. Based on DNA running by RFLP methode using restriction enzyme Pst1 and EcoR1, re was no difference DNA slice fragment, ei r between breeding site or genetic polymorphism of each breeding site. This may be caused by mutation happened in position/ DNA arrange which was not recognized by two enzymes (Anonymous, 2008). Never less, by Sau3A1, DNA band was cut in fragment 1700 bp and 2154 bp for Temanggung, and in fragment 1031 bp and 2154 bp for Soppeng. conclusion is that 1) silkworm crossing of Japan and China strain originated from Soppeng had better performance than Temanggung, 2) performance of silkworm rearing in upland was better than downland and 3) Restriction enzymes of Pst1 and EcoR1 could not detected polymorphism. polimorphism was detected by Sau3A1. silkworm of Soppeng had difference genetic arrangement than of Temanggung. It is suggested to follow this research for silkworm DNA in Indonesia by using more restriction enzymes that have precise cutting part.

Item Type: Thesis (Magister)
Identification Number: TES/638.2/CHO/s/041100214
Subjects: 600 Technology (Applied sciences) > 638 Insect culture > 638.2 Silkworms
Divisions: S2/S3 > Magister Matematika, Fakultas MIPA
Depositing User: Endro Setyobudi
Date Deposited: 25 May 2011 15:00
Last Modified: 25 May 2011 15:00
URI: http://repository.ub.ac.id/id/eprint/159048
Full text not available from this repository.

Actions (login required)

View Item View Item